Percaya dan yakin nggak kalo setiap manusia di dunia ini tuh pasti punya fase terendahnya tersendiri? Di sini, di chapter ini gua akan bawa kalian bersama-sama merasakan fase terendah salah satu manusia. Fiksi sih tapi🫂
Yap, Nathalie. Biar makin kerasa, yuk sambil dengerin lagu mulmed di atas. Wkwk gua lagi suka banget dengerin day6 akhir-akhir ini.
Vote, comment, and happy reading, bunda.
*****
Memupuk rasa kecewa, bersalah, juga sesal seorang diri tentu bukan perihal yang mudah untuk Nathalie. Dia melakukan segalanya karena terpaksa, hingga ia sendiri kehilangan arah tak tahu harus ke mana saat ini. Satu-satunya pelarian Nathalie adalah ibadah.
Sholat dengan segala rasa bersalahnya kepada yang di atas sana. Di tengah-tengah gerakan sholat-nya, Nathalie tak kuasa untuk menahan tangis dengan posisi tubuh sedang bersujud. Sebuah tangis yang telah lama tak terdengar, tangisan penuh keputus asaannya. Dia tahu ini berat, perempuan itu tahu dia tengah terluka, Nathalie tahu dirinya telah hancur.
"Nath, lagi nangis, ya?" Sosok ibu yang tadi tengah tertidur kini terbangun beranjak mendengar suara isakan dari sang putri tunggal yang sedang sholat dengan keadaan hati yang tidak baik-baik saja.
Wanita tunanetra itu perlahan-lahan bangkit dari atas kasur meraih tongkatnya. Melangkahkan kaki berjalan penuh kehati-hatian menerawang setiap sudut kamarnya. Duduk bersimpuh tepat di sebelah Nathalie, mengusap mukena yang dikenakannya.
"Udah besar ternyata anak ibu, pasti cantik. Wajah kamu setiap detiknya selalu terbayang di benak Ibu, Nath," tuturnya halus. "Tapi ada satu keadaan yang buat Ibu nggak sanggup untuk ngebayangin wajah kamu, waktu kamu lagi nangis. Kayaknya berat, ya?"
Menyadari kedatangan ibunya berbicara seperti itu membuat hati Nathalie semakin terluka. Segera, ia menyelesaikan sholat-nya terlebih dahulu sebelum menumpahkan pada wanita itu. "Udah selesai?"
Merasakan pelukan pada tubuh ringkihnya, wanita itu membalasnya tak kalah erat. "Kenapa? Ada apa? Mau cerita sama Ibu?" Nathalie menggeleng tepat di bahunya sebagai isyarat. "Sulit, Bu. Semuanya sulit."
Benar apa katanya, semua berjalan seperti mimpi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Seolah hari ini adalah hari yang paling berat, dia tidak bisa membayangkan bagaimana hari esok akan berjalan.
"Nggak seharusnya aku kayak gini di depan Ibu, aku malu," lanjut Nathalie. "Kondisi Ibu saat ini jauh lebih berat, bisa-bisanya aku nangis kayak gini."
"Gapapa, capek itu wajar, Nath. Nangis karena capek juga wajar, kok. Ngeluh? Boleh banget, karena nggak ada yang ngelarang," ucap sang ibu. "Setiap manusia pasti punya fase terendahnya masing-masing. Satu hal, hidup emang nggak selamanya selalu berjalan mulus, pasti ada aja rintangannya. Kalo emang kita lagi diuji, bukan berarti harus nyerah, ya, Nath?"
"Maaf, kalo capek kamu itu berasal dari Ibu sendiri. Tugas kamu sebagai anaknya harusnya cuma fokus sekolah, nuntut ilmu, gapai cita-cita, tanpa repot-repot mikirin keadaan orang tua," sesalnya merasa gagal sebagai orang tua. "Tapi yang ada malah kamu selama ini yang banting tulang buat Ibu. Maafin Ibu ya kalo nyusahin, Nath?" Lagi, Nathalie menggeleng.
"Satu yang harus kamu inget, kalo kamu punya Ibu tempat untuk mengeluh, ada Allah yang selalu ada di sisi kamu, ya, Nathalie?" pesan ibunya masih dengan posisi memeluk sang putri semata wayang. "Harus yakin, juga percaya. Seberat apapun masalah kamu saat ini, pasti ada jalan keluarnya. Pasti, itu pasti."
"Nggak usah kerja dulu ya hari ini, Nath? Nggak usah dipaksain. Turutin dulu apa kata hati kamu saat ini, oke?" Mendengar itu membuat Nathalie semakin dilingkupi oleh rasa bersalah, terutama kepada ibunya yang belum mengetahui kebenaran tentang pekerjaannya sebagai kupu-kupu malam.
*****
Setelah menyelesaikan sholat malamnya, Nathalie memutuskan untuk mengikuti apa kata hati sesuai dengan perkataan sang ibu. Memilih keluar dari rumah menyusuri jalanan ibu kota yang mulai sepi di tengah malam dengan sepeda motornya. Perlahan mencoba menerima juga menikmati satu per satu luka di hatinya berharap mengubahnya jadi terbiasa.
Dunia memang lucu, dunia memang tak pernah adil mempermainkan hidupnya semena-mena seolah tak mengerti batas kemampuan seorang manusia dalam menghadapi sebuah masalah. Terlalu sulit, terlalu berat, terlalu rumit untuk Nathalie seorang diri.
"LANGIT! Mengapa dari bermiliar-miliar jumlah manusia di bumi, rasanya hidupku yang paling mengenaskan, hancur, dan tak berdaya?"
"LANGIT! Kenapa dari banyaknya beban yang kau bawa, aku yang paling berat menanggungnya?"
"LANGIT! Apa dunia memang sekejam itu sehingga tidak pernah berpihak padaku? Jika iya, kenapa? Kenapa seakan semua sudah dirancang sedemikian rupa bahwa aku memang terlahir untuk menderita?"
Nathalie mengeluh, menumpahkan, mengeluarkan segala emosinya pada langit malam tanpa bintang. Menikmati sentuhan angin dingin yang menusuk kulitnya yang pucat. Sesaat, dia menertawakan hidupnya sendiri yang penuh dengan kehilangan.
"Setelah segala rahasia yang ku tutup rapat-rapat terbongkar, rencana rapih, rancangan hidup yang indah dengan ketenangan kau musnahkan dalam hitungan detik saja," papar Nathalie pandangannya kosong menatap jalan. "Apa belum cukup juga hingga harus membawa pergi serta mengambil seseorang yang kubutuhkan di saat seperti ini?"
Gazelle Arcanio Zevallo, satu-satunya sosok lelaki yang bisa menghargai dirinya kini telah pergi tak lagi berada di sisinya. Satu-satunya sisa manusia yang dia harapkan dapat menerima kenyataan namun ternyata tidak. Nathalie mengerti, bahwa sangat tidak mungkin jika dirinya yang selama ini tidak tahu diri telah mencampakkan lelaki itu dan sekarang memintanya hadir kembali di hidupnya? Tidak akan mungkin pernah terjadi! Kini, hanya menyisakan penyesalan bertubi-tubi yang datang menghampiri. Hingga, pada akhirnya Nathalie harus merelakan Azel karena keharusan bukan keinginan.
Sepanjang perjalanan, kepala Nathalie dipenuhi oleh perkataan ibunya tadi, Setiap manusia pasti punya fase terendahnya masing-masing, kira-kira kurang lebih seperti itu. Namun, mengapa fase terendahnya terlalu berat hingga berada di luar kendali Nathalie? Karena pening, membuat Nathalie memilih untuk menepikan motor, menenangkan diri sejenak di sebuah flyover sepi menghadap ke jurang curam.
Nathalie meneguk salivanya susah payah menatap jarak dari jalanan flyover tempat dirinya berada ke bawah jurang. Terlintas di benak hatinya keinginan untuk bunuh diri, haruskah ia mengakhiri hidupnya di jurang yang curam ini? Di tengah keheningannya, Nathalie bergumam singkat, "Pilihan terbaik."
Perlahan mulai menaikkan satu kaki jenjangnya ke dinding penghalang, bersiap sebelum terjun bebas. Tanpa sadar, ada pengendara lain tengah melewati jalan tersebut dan mengamati dirinya. Dia, lelaki bermotor merah yang menjadi penyebab utama hidup Nathalie hancur sehancur-hancurnya ikut menepikan kendaraan turun menghampiri. Menarik paksa tubuh perempuan bertindik tersebut berhasil menggagalkan niat gilanya untuk bunuh diri.
"GOBLOK! LO MAU NGAPAIN TOLOL?!"
*****
27 September 2021.
Kalo udah bahas fase terendah seseorang sih pasti agak sensitif, ya? Kayak Nathalie, bisa aja seseorang itu nekat bunuh diri, mungkin juga ada yang lain melakukan selfharm.
Tapi di sini yang paling ngena di gua pas Nathalie sholat sambil nangis. Duh, berasa mau dateng terus peluk kasih semangat atas perjalanan hidupnya. Kerasa aja gitu segala rasa keputusasaan, dan bersalahnya.
Follow ig :
@nugraharzqy
@gradivosteam
@berkibah.ofc
@gazevallo
@nathxliez
@gheasegaDiketik 1090 kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAZELLE [END]
Dla nastolatków[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Gazelle Arcanio Zevallo, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Azel. Merupakan sosok ketua geng motor terkenal bernama Gradivos. Salah satu geng motor yang tengah berada di puncak kejayaannya. Hidup di dalam sebuah ikatan...