TIGA PULUH SATU

1.3K 53 13
                                    

"Saya merasa nyaman," jawab Adam. "Ya, nyaman. Saya seolah tahu Talyda tidak akan menerkam saya, menyakiti saya."

"Oh."

"Ya, oh-lucu sekali bukan seorang duda hampir berkepala empat seperti saya bicara hal semacam ini," pria itu tertawa sumir.

"Tidak ada kata terlambat untuk membuka hati, Mas." Talyda melihat jam dinding. "Sekarang mulai siang. Tidak mau ke kantor saja?"

"Sayang sekali sebenarnya saya ingin sekali menghabiskan waktu bersama Talyda seharian. Bagaimana rasanya menjadi ibu?" tanya Adam, bangkit dari duduknya.

"Percayalah, Dama sudah mengakuinya bahwa saya ini bukan ibu yang terlalu baik," jawab Talyda sambil mengantarkan Adam ke pintu depan. "Saya tidak pernah membuatkannya sarapan, apalagi mengantarkannya ke sekolah karena jadwal saya sibuk. Baru sekarang ini saya bisa free dan melakukan apa yang seharusnya seorang ibu lakukan."

"Di mana anak Talyda sekolah? Saya bisa menyempatkan waktu untuk jemput."

"Tidak perlu, Mas kan sibuk," jawab Talyda. "Saya bisa menjemputnya sendiri."

"Saya bersikeras. Nanti kita jemput bareng ya?" Kemudian Adam berdiri di depan Talyda, meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. Dirasakannya cincin emas yang ada di jari wanita itu. "Kamu masih mencintai Alfian, Talyda?"

Yang ditanya hanya menggeleng.

"Lalu kenapa kamu masih memakai cincin kawin kalian?" tanya Adam lagi.

"Terkadang saya ingin merasakan kenangan itu lagi. Kenangan ketika dua orang saling memiliki." Air muka Talyda berubah murung. "Itu tidak akan terjadi karena Alfian kini akan menikah. Dan saya tidak tahu bagaimana perasaan Dama di hari pernikahan nanti."

"Talyda akan datang ke pernikahan itu?"

"Saya belum tahu," jawab Talyda mulai terisak. "Bukan cinta Alfian yang saya rindukan, sebenarnya. Saya hanya tidak menyangka, cinta saja tidak cukup untuk membuat kita menyatu. Ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan dengan kacamata orang dewasa."

Pria itu pasti akan meninggalkannya, menganggapnya perempuan yang cengeng dan menyedihkan. Tapi itu hanya dugaan Talyda saja. Pria itu perlahan membawa kepalanya ke bahu pria itu. "Saya bisa membayangkannya. Sulit melihat orang yang pernah mengisi hidup kita, pergi menikah dengan orang lain." Itulah yang dirasakannya ketika Rubinia Adiwangsa, kemudian Lucy, menikah dengan pria yang mereka cintai. "Tapi bukankah barusan Talyda yang meminta saya untuk bangkit?"

Talyda mengangguk. "Pergilah, Mas Adam. Jangan sampai terlambat." Kemudian pria itu tersenyum, meniupkan kecupan dalam waktu kurang dari satu detik.

"Saya akan sangat merindukanmu," jawab Adam.

"Well, kalau Mas mau cium saya, sebaiknya jangan di teras." Talyda menggodanya dan menepuk pinggang pria itu. "Pergilah. Nanti kutelepon untuk menjemput Dama."

Dan ketika mobil itu berlalu dari rumahnya, Talyda menghela napas panjang. Apakah ini awal dari kebangkitannya dari Alfian? Ia tidak yakin bisa membuka hatinya pada siapa pun. Tidak pada Adam. Atau pun siapa pun karena tidak seorang pun yang bisa ia percaya.

Dicambuk Amarah dan Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang