Ponsel Stella berbunyi.
"Goodness, Steve meneleponku," desis Stella. "Steve. Teman sekelas kita di pelajaran matematika yang sering memperhatikan aku itu." Stella terdiam. "Dia mengajakku makan. Apa sebaiknya kutolak saja, ya?"
"Steve yang sering menempelkan Post-it di lokermu?" suara Talyda meninggi dengan semangat. Semangat untuk Stella tentu saja. Huh, dalam sebulan ini saja temannya sudah banyak punya pacar. Kemarin Martin, Leo, sekarang Steve! "Baiklah, temui saja dia, La. Aku baik-baik saja di sini."
"Sebaiknya kuantar kamu pulang dulu."
"No," tolak Talyda. "Aku menikmati waktu di sini. Lagipula Steve sudah mengejarmu sejak kita jadi freshmen."
Dan memang Stella basa-basi padanya, ia mencium pipi Talyda dan mengucapkan terima kasih. "Pokoknya, kamu harus mengabari aku kalau kamu tidak bisa pulang, oke? Byeee, wish me luck!"
Dan kini Talyda kembali sendiri. Digoyang-goyangkannya gelas wine-nya, kosong, melompong. Secepat ini ia menghabiskan minuman keras dan belum merasa mabuk? Ia hendak mengangkat tangannya untuk memanggil waitress. Baru bilang "I want to order...." Seseorang menahan lengannya dan membatalkan pesanannya.
Yang Talyda tahu pria di sebelahnya ada dua. Meski dalam keadaan duduk, ia merasa kehilangan keseimbangan. Ia menyangga pada bahu pria itu dan bagaimana ceritanya ia sudah membanjiri kemeja pria itu dengan air matanya.
"Kau terlalu muda untuk mencicipi semua minuman ini, kid," kata pria itu. "Berapa umurmu?"
Talyda tidak terlalu fokus hingga tidak menyadari pria itu memakai bahasa Indonesia. Ia menjawab, "Tujuh belas."
"Good. Tahun depan mau lulus dan ini yang kamu siapkan?"
"Geez, ini Papa, ya?" gumam Talyda, menjauhkan diri dari pria itu. Ia mengulapkan wajahnya di meja dan pria itu mengangkat mukanya.
Dan Talyda bersumpah, pemandangan di hadapannya begitu indah.
Mata pria itu cokelat bening, menatapnya dengan prihatin dan nanar. Biasanya Talyda marah jika ada orang yang kasihan padanya. Tapi baru kali ini ia merasakan ketulusan dari seseorang. Orang asing pula.
Apa? Orang asing yang bahkan tidak mengenalnya melemparkan tatapan kasihan seperti itu? Kurang ajar.
"Apakah semua laki-laki itu brengsek?" tanya Talyda geram.
"Maaf?"
"Tidak ada satu pun dari kalian bisa menghargai wanita," gumam Talyda. "Kalian merasa benar tanpa tahu apa yang semua wanita rasakan!"
"Well, bicara siapa yang lebih menyakitkan, kalau kamu sudah dewasa kamu akan mengerti menjadi wanita yang pemilih," pria itu hanya tertawa. "Saya tidak bermaksud menyinggung hatimu. Tapi saya punya adik yang seumuran denganmu. Dia jauh tinggal di Indonesia dan saya khawatir padanya."
"Kalau saya sudah dewasa, saya tidak akan menjadi wanita pemilih," jawab Talyda ketus. Ia tidak peduli apakah pria itu punya adik yang seumuran dengannya atau tidak. Peduli setan. "Anda bisa meninggalkan saya."
"Saya butuh teman bicara."
Talyda menatap pria yang duduk di sebelahnya. Masih dengan tatapan sinis dan penuh selidik, Talyda bertanya, "Anda kesepian? Saya bukan wanita murahan!"
"Saya tahu. Tapi kita berasal dari negara yang sama." Adam memanggil pelayan dan meminta sebotol wine untuk dibungkus. "Saya tidak memintamu untuk tidur bersama saya. Hanya saja.... Saya bosan sendiri. Wanita yang saya cintai baru saja meninggalkan saya demi pria yang lebih kaya."
"Saya turut berduka." Talyda menundukkan kepalanya lagi. Kini kepalanya terasa berat. Bagaimana tidak. Sepuluh gelas wine ia tenggak dalam waktu setengah jam! "Maaf, saya pusing sekali...."
Dan Talyda tidak sadarkan diri. Dahinya terjatuh ke meja bar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicambuk Amarah dan Cinta (Completed)
RomantizmPria asing menidurinya saat usianya tujuh belas tahun. Untuk menghindari malu ia menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya, bahkan pernikahan itu sendiri berujung pada perceraian. Namun Talyda tetap tegar dengan kehidupannya, sampai akhirnya i...