DUA PULUH DUA

3K 80 18
                                    

Seperti biasa, Adam selalu merasa tangannya basah setiap ia gelisah. Ini bukan pertama kalinya ia membawa wanita ke rumah Mama. Tapi wanita ini tidak datang sendiri. Dalam imajinya Adam mengira-ngira, seperti apa anak Alfian itu? Apakah cantik seperti ibunya? Atau jelek seperti ayahnya? Hhh, walaupun banyak gadis yang tergila-gila terhadap ketampanan Alfian Hansa, Adam tidak pernah menganggapnya sebagai pria yang ganteng. Pembunuh! Apa yang diharapkan dari seorang pembunuh selain kenistaan untuk sisa seumur hidup?

Adam bangkit dari duduknya dan membantu Mama meletakkan makanan di atas nampan dan ditaruhnya di atas meja makan. Sudah jam berapa ini? Ia melirik arlojinya, sudah jam setengah delapan. Kenapa lama sekali Talyda datang padahal Adam sudah mengirimnya pesan dari jam enam tadi? Apakah jalanan semacet itu? Ia membayangkan macetnya Jalan Kuningan jam segini. Geez, jarak tidak terlalu jauh, tapi waktu yang termakan habis di jalan. Besok-besok Adam-lah yang harus datang ke tempat wanita itu (tentu saja jika diizinkan Talyda) agar Talyda tidak perlu repot-repot menghabiskan waktu di jalan.

Biarlah, untuk kali pertama, ia yang mengundang wanita itu.

"Ma, Talyda mengajak anaknya ke sini."

Yang mendengarnya hanya menghela napas panjang. "Kamu sudah siap?" tanya Mama. "Mama tidak tanggung ya kalau kamu marah di saat bertemu anak itu. Mama sudah peringatkan kamu, kan."

"Kenapa Mama yakin sekali aku akan melemparkan kemarahan itu pada anak Alfian?"

"Karena satu hal yang Mama kesal mengenai dirimu, kamu senang sekali menaruh dendam pada orang lain. Dulu pada sepupumu sendiri, Attar, perebut Ruby. Sekarang pada Alfian, perenggut kebahagiaanmu."

"Sudahlah, Ma." Adam merangkul ibunya dan menenangkannya. "Aku janji tidak akan bersikap sinis pada siapa pun malam ini. Mama tidak perlu khawatir."

Ting tong... Suara bel menarik perhatian Adam ke pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan terkesima dengan dua perempuan cantik di hadapannya; Talyda dengan dress berwarna krim selutut dan putrinya yang berpakaian santai yaitu kemeja dengan celana jeans. Ya, untuk ukuran anak seusia ini, tidak perlu muluk dipakaikan gaun mahal hanya untuk menghadiri makan malam yang santai pula.

Walaupun Talyda tampil cantik hari ini, Adam tidak bisa melepaskan pandangannya pada gadis remaja di sebelah Talyda. Kulit gadis ini seputih kulit Talyda, dan wajahnya... Adam berpikir-pikir. Paras wajahnya mengapa mirip dengan ibu Adam?

Ah, perasaannya saja. Anak ini kan anak Alfian Hansa. Barangkali kecantikan Talyda mendominasi anak ini sehingga tidak ada sisi Alfian yang ia lihat dari anak ini.

"Selamat malam, Pak Adam," sapa Talyda. "Kenalkan, ini anak saya Dama."

Adam mengulurkan tangannya yang langsung disalami oleh Dama. "Halo, Dama. Saya Adam, ngg, panggil saja Oom Adam."

"Oom pacar Mama?" Kedua mata Dama menyipit penuh sorotan selidik.

"Hus, Dama!" tegur Talyda jengah. Pipinya memerah mendengar pertanyaan anaknya. "Tidak boleh seperti itu pada Oom Adam."

"Well, tidak ada yang tahu kan," sahut Adam, tersenyum tenang. "Mari masuk. Dama suka udang?"

"Suka sekali! Dengan saus tiram, apalagi!"

Mereka berlalu ke ruang makan di mana langsung disambut oleh ibu Adam. Selama perjalanan Talyda sudah berdoa-doa dalam hati, agar ia siap dipertemukan dengan ibu pria itu. Ia tidak berharap hubungannya dengan Adam lebih dari ini, tapi kalau pria itu sudah mengajaknya bertemu dengan ibu pria itu, tentu ada kemungkinan mereka akan ke jenjang yang lebih serius, kan? Walaupun jauh di lubuk Talyda ia tidak percaya pada lelaki mana pun.

Ia melewati ruang keluarga sebelum ke ruang makan. Di sana banyak foto-foto yang dipajang di dinding maupun di dalam lemari kaca. Kalau tadi Adam-lah yang terkesima melihat Dama, kini Talyda-lah yang kehabisan napas ketika ia melihat selembar foto remaja laki-laki dengan remaja perempuan yang mirip sekali dengan Dama.

Tamatlah riwayatku, gumam Talyda dalam hati. Kalau Adam sampai menyadari dialah ayah Dama, oh tidak... Aku tidak bisa membayangkannya! Sudah cukup keluarga Alfian mencaciku sebagai pembawa sial. Aku takkan membiarkan Adam tahu, membiarkannya berpikir aku wanita yang jahat karena telah menyembunyikan identitas anaknya!

Dicambuk Amarah dan Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang