1 › Bullying

42 13 4
                                    

Happy reading ♥♥

☜☆☞

Areezka

Pandanganku agak kabur menatap langit sore diatasku. Aku hanya pasrah dengan apa yang menimpaku sekarang. Aku terbujur lemas di tanah, lalu memandang keempat orang yang tampak masih bersemangat. Mungkin merupakan suatu kepuasan setelah menindas teman sekelasnya sendiri. Ah, layakkah ku sebut teman?

"Apa alasan lo masih biarin gue hidup?"

Ronan yang terlihat seperti pemimpinnya, tertawa sinis, "kayak lo neprok nyamuk pengganggu tapi lo masih biarin dia hidup, apa alasannya? Itu jawabannya kalau lo mau tau."

Kutatap kepergian mereka setelah sebelumnya Bayu meludahiku. Selalu begini sejak 3 hari terakhir aku menginjakkan kakiku di sekolah negeri favorit bernama SMA TIRTA AMARTA ini. Setiap jam pulang, dengan sok akrabnya mereka merangkulku keluar kelas. Lalu membawa paksaku ke belakang sekolah. Dan beginilah akhirnya, terkapar lemas dan pulang dengan banyak memar di sekujur tubuh. Liciknya mereka tak ada melukai bagian terbuka seperti wajah dan tangan. Sehingga takkan terlihat dan memudahkan mereka kembali melakukan hal yang sama.

Aku tak paham alasan mereka merundungku, tapi bukankah lebih mudah jika langsung mengakhiriku? Toh, aku tidak keberatan jika mereka bersedia melakukannya.

☜☆☞

Ku dorong pintu triplek tua yang sudah reot dihadapanku, pintu masuk dari sebuah kos-an sepetak yang merupakan tempatku bernaung. Aku rela meninggalkan rumah peninggalan keluargaku demi tinggal di kos-an murah nan strategis ini sendirian. Berharap takkan lagi dihantui oleh bayang - bayang mereka. Sekaligus dapat bekerja paruh waktu menjadi penjaga toko kelontong dipinggir jalan raya tak jauh dari sini.

Sejak kematian seluruh anggota keluargaku akibat kecelakaan itu, hidupku terasa hampa. Tanpa tahu apa alasanku masih bertahan, tapi seolah menjalani hidup tanpa gairah. Dalam ragaku kini hanya ada kebencian. Kebencian akan - mengapa harus kusaksikan sendiri mereka meregang nyawa didepanku? Sementara ragaku yang lemah ini tak dapat melakukan apapun selain menunggu bantuan saat itu. Kuakui, ini semua salahku. Aku yang memulainya. Aku yang menyebabkannya. Namun, mengapa aku yang selamat? Haruskah aku menelan mentah - mentah rasa bersalah ini?

☜☆☞

Jarum jam arlojiku telah menunjukkan pukul 3.15 petang. Yang artinya, tak lebih dari lima menit aku akan berada di belakang sekolah lagi.

Dan benar. Seperti biasa, Ronan beserta ketiga antek - anteknya; Bayu, Ferry, dan Jaka menghampiri dan merangkulku dengan sok akrab. Membawaku ke tempat itu lagi. Sampai sekitar satu meter menuju lokasinya, tubuhku didorong hingga tersungkur mencium tanah.

Tak membiarkannya lama, kerah seragamku ditarik entah oleh siapa dari belakang, hingga aku terpaksa berdiri menghadap mereka. Aku menatap jengah mereka yang sedang meregangkan otot - ototnya sebelum sampai di inti permainan ini. Tak lama lagi sampai corak - corak biru keunguan terlukis ditubuhku. Aku hanya cukup menutup mata dan menunggu adegan itu terjadi. Tanpa berniat kabur ataupun semacamnya.

.
.
.

Namun, seingatku tak butuh waktu lama untuk mereka bertindak. Jadi, ku putuskan untuk membuka mataku. Agar dapat melihat kejutan apa yang akan terjadi dihadapanku.

Dihadapan Ronan kini berdiri seorang gadis dengan wajah juteknya menatapku sekilas. Mata bulat kecoklatan, hidung mancung, dan bibir tebal merah meronanya baru saja menghadapku. Memperlihatkan bagaimana memesonanya gadis ini, sehingga sulit rasanya mengalihkan pandanganku darinya. Ekspresi yang Ronan tujukan kepadanya pun sungguh berbeda dari biasanya. Wajah garangnya telah berubah menjadi wajah berseri dengan senyumnya yang mengembang secara spontan, diwarnai oleh pipinya yang agak merona.

Setitik CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang