Happy reading♥♥
☜☆☞
Ashley
Akhirnya kami sampai di rumah Ryan. Aku baru saja menapakkan kaki di ruang keluarga milik rumah Argatama ini, tentunya dengan Ryan yang memapahku karena aku masih sulit berjalan.
"As-salamu'alaykum!" salam kami berbarengan.
"Wa'alaykum-salam ...."
Bunda menghampiri kami dengan senyum manisnya. Dia merentangkan tangannya seperti hendak memelukku, namun seketika senyum manisnya itu pudar setelah melihat keadaanku yang sedang dipapah puteranya.
"Ya ampun, Leya, kok jalannya begitu?" Bunda memperhatikanku dengan raut kagetnya. Sebelum raut kagetnya berubah panik karena melihat luka di kakiku.
"Astaghfirullah! Kenapa bisa luka-luka begini, sayang?" Bunda menggapai tanganku seraya menuntunku duduk di sofa ruang tamu ini. Bunda duduk di sebelahku, dia menunduk memperhatikan lukaku, lalu beralih menatap Ryan yang masih berdiri.
"Ryan, cepat ambil P3K!"
"Iya, Bunda." Ryan bergegas pergi ke ruang tengah. Tak butuh waktu lama, Ryan kembali membawa sekotak P3K dan memberikannya ke Bunda Sonia. Kemudian, Ryan pergi ke arah dapur sembari membawa camilan yang kami beli tadi. Sepertinya dia letakkan di lemari es agar minumannya tetap dingin, karena dia keluar dapur tanpa membawa apapun.
"Ryan ke kamar bentar ya," pamit Ryan seraya melenggang pergi menuju tangga di ruang tengah. Kamar Ryan memang berada di lantai atas.
"Bunda izin gunting celana kamu, ya?"
Aku mengangguki pertanyaan Bunda. Tanpa menunggu lagi, Bunda memotong celana bagian lutut kiriku yang memang sudah robek. Bunda membuka kotak P3K dan mengambil sebotol cairan yang nampak asing di mataku. Tapi setahuku itu bukan alkohol. Lalu Bunda meneteskan cairan itu ke kapas yang sudah dipegangnya, dia mengusap luka pada lututku menggunakan kapas itu dengan sangat lembut.
"Ya ampun ... Ini udah agak kering lukanya. Lain kali usahakan cepat diobati ya, Nak. Takutnya infeksi."
Hatiku tersentuh karena perhatian dan kasih sayang Bunda padaku. Aku menyadari bahwa senyum telah terpatri di wajahku ini. "Iya, Bun. Um, itu bukan alkohol ya, Bun?" tanyaku.
Bunda meletakkan cairan itu, lalu beralih mengambil botol bertuliskan Povidone Iodine yang memiliki ukuran lebih kecil. "Tadi itu NaCl, sayang. Bunda nggak pernah pakai alkohol buat bersihin luka, karena alkohol bisa memperlambat proses penyembuhan luka. Makanya lebih baik pakai NaCl yang sifatnya isotonik. Kadar toksiknya juga rendah dan nggak menyebabkan reaksi alergi atau perubahan ekosistem di kulit," jelas Bunda sembari meneteskan isi botol berisi cairan berwarna merah kecoklatan itu ke lutut kiriku. Sepertinya itu semacam Betadine.
Punya ibu seorang dokter emang enak ya. Nggak salah kaprah kayak gue yang selama ini pakai alkohol buat bersihin luka, batinku sambil mengangguk yakin.
Bunda Sonia ini memang berprofesi sebagai dokter. Dokter spesialis bedah saraf lebih tepatnya. Wajar saja dia tahu persis cara menangani luka kecil seperti ini. Pasti baginya adalah hal yang sangat mudah mengingat dokter bedah saraf pasti sudah sering menangani luka yang lebih berat dari ini.
"Makasih banyak ya, Bun," ucapku diangguki Bunda dengan senyum teduhnya.
"Leya ganti celana punya Bunda aja, ya?" tawar Bunda. Aku langsung mengangguk mengingat celana trainingku yang rusak ini. Pikirku mungkin akan muat, karena Bunda ini berperawakan langsing.
☜☆☞
Areezka
Beep beep-beep beep!
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Cahaya
Teen Fiction"Di mataku, dia adalah setitik cahaya hangat dengan harapan di ruang kelam." - Areezka Pradipa . Di tengah kekalutannya, Areezka Pradipa bertemu seorang gadis keras nan dingin - Ashley Astutiek - yang baginya adalah setitik cahaya hangat dengan h...