Happy reading♥♥
☜☆☞
Areezka
Benar. Sebagai orang yang bukan siapa-siapa aku memang tidak berhak memaksa dia mengizinkanku untuk membantunya. Namun, sebagai manusia yang memiliki rasa simpati, kurasa aku masih bisa.
Aku mengedarkan pandangan, tak ada seorang pun selain kami di sini. Kanan kiri penuh pepohonan dan semak-semak. Tak mungkin bila aku meninggalkannya sendirian dengan kondisi seperti itu.
Aku menyusuri jalan dengan sangat perlahan, masih berusaha mencari cara agar tidak meninggalkannya sendirian tanpa membuatnya terusik lagi. Dan ... bukan berarti aku yang harus langsung untuk membantunya bukan?
Segera aku mengeluarkan ponselku di saku celana. Aku membuka buku telepon dan mencari nama Pak Mamat, tetanggaku yang berprofesi sebagai sopir taksi. Saat kontaknya muncul, aku menekan ikon telepon. Lalu menempelkan benda pipih itu di telingaku.
"As-salamu'alaykum, Pak. Ini Ares. Boleh minta tolong nggak?"
"Wa'alaykum-salam. Sok atuh. Aya naon, Res?"
☜☆☞
Ashley
"Punten, Neng. Ayo naik."
"Maaf, saya nggak pesen taksi, Pak."
"Saya teh kebetulan lewat, terus liat kamu jalannya pincang. Jadi saya samperin aja atuh. Kebetulan ini hari spesial buat saya juga, Neng. Teu nanaon gratis oge."
Rasa nyeri pada kakiku membuatku ingin langsung menerima tawaran sopir taksi itu. Namun rumahku tak jauh dari sini, seharusnya aku masih sanggup berjalan. "Rumah saya nggak jauh kok, Pak."
"Teu nanaon atuh, Neng." Dia membukakan pintu mobil bagian tengah.
"Makasih banyak tawarannya, Pak. Tapi saya nggak mau merepotkan. Permisi."
Aku segera berjalan susah payah karena menyeret kaki kiriku yang nyeri. Jalanku pincang, namun sekuat mungkin aku berusaha. Perkiraanku jarak dari sini ke rumahku hanya sekitar 30 meter, pasti aku sanggup. Aku tak ingin merepotkan orang lain dan menjadi anak manja lagi.
Tinn tiinnn
Aku menoleh dan melihat sebuah motor ninja berwarna hitam yang membunyikan klakson tadi. Motor itu berhenti tepat di depan mobil taksi itu. Kali ini, aku kenal siapa pemiliknya. Ryan Argatama.
"Leya!" panggilnya seraya membuka helm. Dia meletakkan helmnya, lalu menghampiriku.
"Kamu ngapain di sini?" Ryan memperhatikan diriku, dan kutebak bahwa dia telah menyadari bahwa aku terluka. Terlihat dari wajahnya yang berubah menjadi cemas. "Loh, itu kenapa luka gitu? " tanyanya lagi.
Daripada menjawab Ryan, aku melenggang pergi menuju motornya.
"Loh, mau ke mana?" Kali ini raut cemasnya bercampur bingung.
"Nunggu lo naik motor ini dan nganterin gue pulang," jawabku. Dia malah mengusap kasar wajahnya, lalu bergegas menghampiriku dan menaiki motornya. Disusul aku yang menduduki jok belakang saat dia memakai helmnya.
Kalau dengan Ryan, aku tak ada merasa sungkan. Toh dia sudah seperti kakak
kandung bagiku. Sepertinya dia juga tak pernah merasa direpotkan olehku."Tapi aku diminta Bunda bawa kamu main ke rumah. Gimana?" tanyanya seraya memberikan helm padaku.
"Iya. Ayo cepet." Aku menerima helm itu dan lekas memakainya. Bukannya mulai mengemudi, dia malah masih menatapku. Aku mengernyit sebagai bentuk pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Cahaya
Teen Fiction"Di mataku, dia adalah setitik cahaya hangat dengan harapan di ruang kelam." - Areezka Pradipa . Di tengah kekalutannya, Areezka Pradipa bertemu seorang gadis keras nan dingin - Ashley Astutiek - yang baginya adalah setitik cahaya hangat dengan h...