5 › Cry

29 9 0
                                    

Happy reading ♥♥

☜☆☞

Ashley

Raut wajah Areezka tampak terkejut, ia mematung. Penjual bubur yang tadinya sibuk meracik bubur mendadak berhenti seraya menatapku.

"I'm not kidding." Aku melahap santai bubur ayam yang sempat tak ku hiraukan. Benar, aku tidak bercanda. Hanya saja, aku berbohong. Berharap agar dia menjaga jarak atau setidaknya ilfeel padaku.
(Gue nggak bercanda)

Hening.

Penjual bubur itu menghidangkan pesanan Areezka. Lalu, Areezka hanya fokus - atau seperti berusaha untuk fokus - memakan sarapannya. Suasana yang canggung sudah tak asing lagi bagiku. Kurasa Areezka cukup tertohok, dan aku jadi cukup lega.

Aku baru saja melahap suapan terakhirku. Mengingat belum membayar, aku merogoh saku celana sambil berdiri. Tetapi Areezka menghentikannya. Ia menghampiri Mang Jaja. "Walaupun sepeser"-Areezka memberikan sejumlah uang kepada sang penjual bubur-"izinin gue sebagai ucapan makasih," terangnya tanpa menoleh ke arahku. Sikap Areezka mendingin. Jadi agak aneh, tapi ini yang ku inginkan.

"Hah? Nya kudu bayar atuh, Jang. Da Mang Jaja mah keur eweuh promo." sahut penjual bubur itu dengan logat sundanya.
(Ya, harus bayar dong, Dek. Mang Jaja lagi nggak ada promo.)

"Yeh, si Amang. Urang teh lain ngomong ka Mang Jaja. Nteu peka pisan." Areezka menatap jenuh pria di depannya itu.
(Aku itu bukan ngomong sama Mang Jaja. Nggak peka banget.)

Astaga, drama macam apa yang ada di depan gue sekarang? Batinku.

"Gue udah nerima ucapan makasih lo. Permisi." Malas berada di sini lebih lama lagi, aku bergegas untuk pulang.

Sepanjang perjalanan, aku hanya fokus melihat ke depan seraya berlari santai di atas trotoar jalan. Ingin segera tiba di rumah walaupun akan sangat membosankan. Setidaknya lebih baik dari pada berada dalam keramaian seperti ini.

Namun, kurasa sepertinya itu takkan tercapai. Indera penglihatanku tak sengaja menangkap tiga orang yang baru saja keluar dari toko buku di sisi kiri ku. Aku berhenti berjalan. Terpaku menatap sebuah keluarga yang nampak manis itu. Ayah dan ibunya membawa tas belanja. Sang putri bergelayut manja di lengan kedua orangtuanya. Ketiganya tampak tersenyum lebar.

Sementara, aku seorang diri memendam segala rasa pedih bercampur kesal dalam hatiku. Inilah yang ku maksud berada di antara keluarga bahagia. Maksudku adalah berada di antara Om Asep, Ambu, serta Stella adik tiriku. Ya, mereka yang ada di hadapanku kini. Tanpa menyadari kehadiranku.

Aku iri dengan Stella yang mendapat kasih sayang berlimpah dari orang tuanya. Diperhatikan ayah dan ibu kandungnya, dimanjakan Ambu sebagai ibu tirinya yang sangat baik hati.

Menurutku, ini aneh. Di mana-mana, anak tiri yang selalu terasingkan dan anak kandung yang di dekapan. Lantas mengapa kisahku berbeda? Malah aku yang tersingkirkan.

Namun, bukan maksudku ingin merebut posisi Stella saat ini. Sebenarnya, sedikit diperlakukan sebagai seorang putri oleh Ambu saja sudah cukup bagiku. Seperti mengobrol dan bersenda gurau antara ibu dengan anak pada umumnya. Seperti aku dan Ambu dahulu.

Realitanya, aku hanya bisa menjerit dalam hati seraya berusaha keras untuk menepis perasaan itu. Bagaimana mungkin kini kami bisa? Bahkan sekedar menghubungi untuk menanyakan keadaanku saja tidak pernah. Ambu sesibuk itu dengan keluarga barunya.

Orang bilang, takdir itu yang terbaik. Lantas kapan aku bisa mempercayainya? Apa yang dapat membuatku yakin akan hal itu?

Karena nyatanya benakku masih berteriak bahwa ini tidak adil.

Setitik CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang