Happy reading ♥♥
◦☆◦
Akhirnya Ambu mengizinkan aku pergi. Aku menaiki motor kesayangan ku yang terparkir di halaman, menggunakan helm sebelum menyalakan mesinnya. Motor ini adalah motor peninggalan Abah. Dulu Abah sering mengajakku jalan-jalan keliling kota menggunakan motor ini. Ambu sempat ingin menjualnya, namun aku menolak keras. Tentu saja motor ini berharga bagiku. Maka sejak kelas 10, aku mulai mengendarainya.
Aku membelah jalanan Kota Karawang dengan pikiran semrawut. Aku tak bodoh untuk menangis dan membuat penglihatan ku buram ketika mengendarai motor. Beruntung aku dapat mengontrol diri meski rasanya hatiku ingin menjerit.
Namun, rasanya selalu sulit untuk tidak menceritakan masalahku pada Ryan, sahabatku sejak kecil. Selalu ada yang terasa mengganjal sebelum aku menuangkan isi pikiran maupun hatiku padanya. Sejujurnya aku tak mau menjadi beban untuknya. Pernah beberapa kali aku mencoba memendamnya sendiri. Tak pernah berakhir baik. Malah membuatnya marah. Bukan marah kepadaku, tetapi marah pada dirinya sendiri karena merasa tak berguna.
Maka kuputuskan untuk melajukan motor ini ke rumah Ryan. Rumah ketigaku setelah Tuhan dan Almarhum Abah.
.
.
.
Butuh waktu cukup lama untukku sampai di sini. Rumah satu tingkat yang dominan bernuansa putih ini terlihat sepi. Gerbangnya tertutup, begitu juga pintunya. Aku membuka gerbang yang ternyata tak digembok, lalu memasuki motorku ke halaman rumah. Usai menutup gerbang, aku mengetuk pintu serta mengucap salam. Tak ada yang menyahutinya, pintunya pun terkunci. Mungkin Bunda dan Ayah belum pulang, tetapi entah ke mana Ryan.
Aku melirik balkon kamar tidur Ryan yang berada di lantai atas. Kesempatan buatku menggunakan trik masa kecil. Aku mengambil tangga aluminium di samping rumah. Usai meletakkannya tepat di bawah balkon, aku menaikinya, meraih pagar pembatas balkon, lalu berhasil sampai di lantai balkon tanpa lecet sedikit pun.
Pintu balkon kamar Ryan tak terkunci, berarti Ryan tengah berada di rumah. Bunyi air mengalir dari kamar mandi pun berhasil terdengar meski agak samar, pasti dia sedang mandi. Kebiasaan mandi malam tak pernah hilang dari dulu.
Aku duduk di kasur empuk ini. Tak sengaja melihat sebuah buku biru muda berukuran cukup besar di atas nakas. Itu adalah album berisi foto diriku dengan Ryan. Hampir semua kenangan kami dari kecil tersimpan rapi di sana.
Aku membuka album yang tampak terawat ini. Ryan sangat pandai merawatnya. Bahkan dia menyusunnya dari foto terlama sampai foto terbaru.
"Hai, kamu! Aku Ryan. Nama kamu siapa?" -Ryan Argatama
"Ashley. Ambu sama Abah panggil aku Lia." -Ashley Astutiek
"Kalau gitu aku panggil kamu Leya aja deh. Selamat ulang tahun yang ke-delapan, Leya!" -Ryan Argatama
Aku bergeming membaca tulisan di halaman depan album ini. Itu saat kami berkenalan di acara ulang tahunku yang berlangsung di rumahku. Keluarga Ryan tentu diundang karena Ayah Ryan adalah teman Abah sejak SMA.
Aku lekas membalikkan lembar itu, halaman kedua. Di sana tertempel secarik kertas yang cukup usang. Kertas itu berisi tulisan jelek milik kami saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Leya itu imut. Tapi dia pendiam banget. Aku ajak ngomong jawabnya sedikit terus. Ryan salah apa sih? Bawel itu salah ya?
Saat itu Ryan kecil sedang marah. Dia kesal karena aku terus mendiamkan dirinya yang banyak omong. Lalu aku mengambil kertas ini darinya dan menuliskan balasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Cahaya
Teen Fiction"Di mataku, dia adalah setitik cahaya hangat dengan harapan di ruang kelam." - Areezka Pradipa . Di tengah kekalutannya, Areezka Pradipa bertemu seorang gadis keras nan dingin - Ashley Astutiek - yang baginya adalah setitik cahaya hangat dengan h...