Happy reading ♥♥
☜☆☞
Aku menghentikan langkah ketika kurasakan sesuatu mengenai lengan kananku, membuatnya sedikit sakit. Itu batu kerikil. Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari pelakunya. Seorang gadis dengan seragam sekolah yang sama tengah menghampiriku.
"Mau kemana lo?"
Suara indah sekaligus dingin itu adalah suara khas dia. Ashley, gadis idamanku. Dia semakin berada di hadapanku, dengan tatapan dingin sekaligus memesona di waktu yang sama.
"Ayo," ajaknya. Bibirku bungkam, otakku belum mencernanya. "Gue yang bawa lo ke sini, gue juga yang bawa lo pulang," katanya seolah dapat membaca pikiranku.
Aku ternganga. Tak menyangka kalau ternyata dia yang membawaku ke mari. Lupakan soal dia yang melemparku dengan batu kerikil itu. Karena aku sangat bahagia sekarang, senyumku pun mengembang. Dan kurasa semakin membuat rasa ku semakin dalam.
Ternyata di balik wajah dingin dan tatapan tajamnya, dia gadis yang sangat baik.
☜☆☞
Ashley
Kami berada di perjalanan menuju rumah Areezka. Aku duduk di kursi sebelah sopir, tengah menikmati alunan musik rock melalui earphone seraya menikmati pemandangan sore hari lewat kaca depan. Sementara Areezka duduk di kursi belakang, sibuk menunjukkan jalan kepada sopirku.
"Pak, tolong berhenti di sini aja," intruksinya. Lalu sopirku menepikan mobil di depan sebuah gang sempit. "Terima kasih ya, Ashley, Pak sopir. Maaf merepotkan. Saya permisi dulu," pamitnya disertai senyuman. Tak lama kemudian suara banting pintu mobil terdengar.
Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh. Gang sempit ini membuatku teringat masa lalu.
Dahulu, beberapa bulan sejak Abah wafat dan sebelum Ambu menikah lagi, aku tinggal di sebuah rumah kecil di dalam gang sempit seperti ini. Ambu menjual rumah lama demi menghidupi kami selama Ambu belum bekerja.
"Jalan, Pak."
☜☆☞
"Jadi, gimana?" tanya Ryan.
Setelah sampai rumah beberapa waktu lalu, aku hanya sempat membasuh diri dan tak lama kemudian Ryan datang menjemputku. Seperti yang telah kami janjikan. Kini kami sedang berdiri menikmati pemandangan dan udara segar di pinggir kolam ikan besar milik restoran langganan kami. Perut kenyang membuatku semakin menikmati momen ini. Tetapi kurasa akan lebih baik jika ku tuangkan beban pikiranku saat ini juga.
"Ryan, lo selalu nyerang cowok yang ganggu gue di saat lo tau gue nggak pernah suka."
"Tapi ... aku sulit diem aja dan biarin kamu sendiri, Leya."
"Gue bisa. Gue bukan lagi cewek lemah yang lo kenal dulu," kataku, lalu menatap manik matanya, "Ryan, gue ... masih benci cowok yang nggak menghormati cewek. Tapi ... entah kenapa gue nggak tega bikin dia babak belur kayak yang lainnya." Aku kembali memandang lurus ke depan.
Hening.
Aku sibuk dengan pikiranku, sementara Ryan menunggu ucapanku selanjutnya.
"Ryan, gue capek," keluhku, "lo tau 'kan sikap gue sejak kecil kayak gimana? Gue ... susah sosialisasi sama siapa pun."
Ryan mengangguk. Sementara aku menunduk, "sekarang, gue makin ngejauh dari sekitar, apalagi cowok. Gue hampir nggak pernah deket sama cowok selain lo."
"Dan akibatnya, gosip tentang gue makin menjadi." Aku menghela napas, "di depan mereka gue nggak pernah peduli. Tapi ... dalam hati gue beda, Ryan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Cahaya
Teen Fiction"Di mataku, dia adalah setitik cahaya hangat dengan harapan di ruang kelam." - Areezka Pradipa . Di tengah kekalutannya, Areezka Pradipa bertemu seorang gadis keras nan dingin - Ashley Astutiek - yang baginya adalah setitik cahaya hangat dengan h...