Happy reading♥♥
☜☆☞
Areezka
Dengan gerakan cepat dia berbalik arah. "Oke," ucapnya.
"Yes!" seruku. Aku berjingkrak senang seraya tersenyum puas. Akhirnya, kesempatan yang kutunggu pun tiba. Aku tak boleh membuatnya sia-sia. Jangan sampai gugup menghancurkan ekspektasiku; PDKT dengannya. Aku beranjak menyusul Ashley, berjalan di sisinya.
"Ashley, suka buku apa? Fiksi atau non-fiksi?" tanyaku.
"Fiksi," jawabnya dengan datar.
"Wah. Genre apa?"
"Horor."
"Horor? Nggak romance? Biasanya cewek suka yang romantis-romantis."
"Selera orang, kan, beda-beda."
Aku berdeham. "Horor, ya? Agak seram.... Tapi bagus, unik."
"Lo?" tanya Ashley. Satu kata itu membuatku tak menangkap maksudnya. "Selera lo gimana?" lanjutnya. Mungkin menyadari kebingungan ku.
"Oh.... Ares suka buku-buku sains. Terutama karya Stephen Hawking. Karyanya keren-keren banget." Aku tersenyum, meski sebenarnya aku merutuki diriku yang gugup ini. Mendapat pertanyaan tentang pribadi membuatku baper.
Ayo lah, jangan gugup. Stay calm. Jangan sampai gagal.
Ketika aku masih terpana dengan wajahnya, dia malah berhenti mendadak dan berbalik badan. Aku pun ikut berhenti. "Kenapa berhenti?" tanyaku.
"Setahu gue buku sains di sana," ujarnya seraya mengarahkan dagunya ke belakangku.
Aku terkejut. Berpikir cepat. "Nggak. Bosan."–aku mengambil asal salah satu buku dari rak di sisiku–"Mau baca ini," jawabku kikuk. Demi tak terlihat makin konyol, aku beralasan begitu. Akan malu sekali bila saja aku berbalik ke deretan rak buku sains sambil menyengir bodoh.
"Oh," sahutnya datar.
Dia berjalan kembali. Kali ini aku tak lagi mengekori dirinya, hanya memperhatikannya dari belakang. Lalu dia berbelok ke sela-sela rak buku bergenre horor di sisi kanan, aku menghampiri salah satu kursi yang tersedia di tengah perpustakaan ini. Aku menduga dia akan duduk di depanku. Tentu saja karena kursi itu paling dekat dengan posisinya saat ini. Sudut bibirku terangkat, senyum-senyum sendiri. Semoga berjalan baik, batinku.
Aku duduk di kursi lipat beralas empuk ini, kedua lengan ku letakkan ke atas meja bundar di hadapanku. Bibirku mengeja kata demi kata yang tertera pada sampul buku, "... Buku psikologi? Keren juga." Aku membalikkan buku itu, membaca blurb yang tertulis rapi dalam hati.
Ashley kembali, membawa sebuah buku berwarna hitam dengan nuansa horor. Dan benar dugaan ku; dia duduk di kursi itu! Pandangan ku menatap tepat pada matanya, mengagumi keindahan ciptaan Tuhan di depanku. Namun, persis seperti waktu itu, sorot matanya sendu. Kerap kali juga kulihat sorot matanya kosong. Mungkin wajah datarnya dapat menutupi apapun, tetapi matanya tidak. Makin ku menatapnya, makin kurasa sakitnya. Dia yang mengalaminya, tetapi kenapa aku turut merasakannya? Di lain sisi, itu membuat rasa penasaran ku makin menuntut, namun posisi diri masih menyadarkan ku.
Dia membuka lembar pertama dari novel itu, fokus membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Lalu tangannya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi matanya. Rambut panjangnya berwarna cokelat kehitaman. Aku paling suka rambut indahnya. Tetapi wajahnya juga tak kalah cantik. Membuatku enggan menoleh ke arah lain.
Selesai pada lembar pertama, dia membuka lembar kedua tanpa mengurangi fokusnya. "Ada yang salah di diri gue?" tanyanya tanpa menoleh sedikitpun. Aku berkedip, tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Cahaya
Teen Fiction"Di mataku, dia adalah setitik cahaya hangat dengan harapan di ruang kelam." - Areezka Pradipa . Di tengah kekalutannya, Areezka Pradipa bertemu seorang gadis keras nan dingin - Ashley Astutiek - yang baginya adalah setitik cahaya hangat dengan h...