8 › Sampah

17 6 1
                                    

Happy reading♥♥

☜☆☞

Ashley

Bibirku tak berhenti mengeluh. Perasaan resah membuatku melirik arloji di tangan setiap 5 detik. Aku berjalan mondar-mandir di depan gerbang rumah sambil berusaha meredakannya. Namun nihil, kian lama kian memuncak.

Sampai akhirnya indera pendengaranku menangkap suara mesin motor yang familiar, disusul oleh hadirnya sebuah motor ninja berwarna hitam dengan desain maskulin. Motor itu berhenti tepat di hadapanku.

Benar, sang empu tidak lain adalah Ryan. Manusia menyebalkan yang sedari tadi ku tunggu-tunggu untuk membawaku ke sekolah. Menyesal rasanya karena menerima ajakannya untuk berangkat bersama tadi malam. Seharusnya aku memilih opsi diantar sopir seperti biasanya yang tak diragukan selalu berjalan tanpa hambatan.

Ryan menaikkan kaca helmnya. Sudut bibirnya yang tipis membentuk cengiran hingga deretan giginya terlihat. Cengiran yang selalu tampak menyebalkan itu membuatku kesal. Terlebih lagi didampingi raut wajah tanpa dosanya itu.

Bibirnya membuka, tampak akan mengatakan sesuatu. Kutebak, kalimat sapa serta basa-basi yang membosankan. Sebelum didahului, aku berujar, "Lama banget sih!" Seraya menarik kaca helmnya hingga kembali menutup.

"Duh! Udah gercep loh ini."

"Telat 20 detik!"

"Astaga, baru dateng disambutnya ramah banget," katanya dengan nada menyindir. Walaupun tertutup helm, wajahnya itu tetap terlihat menyebalkan. "Kamu ... datang bulan?"

Aku berdeham.

"Eh? Astaghfirullah, pantesan. Ya udah, maap ya Leya ...," ujar Ryan seraya menampilkan senyum. Walaupun raut wajahnya berubah, masih tetap menyebalkan.

Aku merotasikan kedua mataku, menggambarkan suasana hatiku yang masih dalam fase tidak baik. Berharap dirinya tidak banyak bertele-tele dan berakhir membuatku melepaskan sepatu dan melayangkannya tepat pada wajah menyebalkan itu. "Ayo cepet! Lama lo."

"Pakai dulu helmnya biar aman," katanya sambil mengangkat helm itu setinggi atas kepalaku. Berniat memasangkan benda berwarna merah itu untuk membuat suasana hatiku membaik. Padahal nyatanya tidak. Karena dia akan sangat lamban ketika memakaikanku helm!

"Nggak usah!" Aku merebut helm di tangannya. Menaiki jok belakang seraya memakai helm sebagai bentuk dari definisi menghemat waktu. "Kenapa belum jalan?!"

"Ya Allah ... Iya, iya jalan sekarang." Ryan menyalakan mesin motornya, suara mesin yang cukup memekakkan telinga juga membuatku kesal. Harusnya ketika menemaninya memilih motor kala itu, aku lekas memelototinya karena dia menunjuk motor bermesin berisik ini. Tetapi ternyata kharisma dari motor ini malah membuatku mengangguk-angguk saja. Karena jujur motor ini sangat keren. Harganya pun tak kalah keren. Beruntung Ryan memiliki uang tabungan yang cukup untuk membawa motor mahal ini pulang ke rumah.

☜☆☞

Pemandangan hilir mudik lalu lintas kini telah berganti dengan motor-motor yang berjajar cukup rapi. Aku turun dari motor bersamaan dengan suara mesin motor Ryan yang menghilang, digantikan oleh samar-samar suara obrolan para siswa yang juga baru saja memarkirkan motornya di parkiran sekolah yang cukup luas ini.

Aku berjalan mendahului Ryan menuju koridor utama. Tak lama dia menyusul dan berjalan di sisiku sehingga aroma menyengat dari minyak rambut khas remaja pria dari rambutnya sampai pada indera penciumanku.

"Ishh, bau, jauh-jauh sana!" Dengan raut wajah jijik, aku meloncat menjauhinya seraya menutup hidung. Sepertinya hari ini dirinya benar-benar berniat membuatku naik pitam. Bagaimana tidak? Pertama, dia terlambat menjemputku. Kedua, dia menggunakan pomade padahal dia jelas tahu aku sangat anti pada aromanya!

Setitik CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang