2 › Love at First Sight

31 12 2
                                    

Happy reading ♥♥

☜☆☞

"STOP!"

Seketika mataku melebar kala melihat pemilik suara itu, begitu juga dengan para perundungku yang kini telah membeku. Benar, pemilik suara itu adalah..

.
.
.

"Aku?!"

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, diiringi napas yang tersenggal bagaikan baru saja berlari maraton sejauh 5 kilometer. Tak hanya itu, kepalaku agak pening dan peluh telah membahasi sudut dahiku. Benakku penuh tanda tanya.

"Leyaa! Hey, leya!"

"Astaga, lo bikin kita panik tau gak?!"

Kusadari kini aku sedang terbaring dikelilingi oleh Zhyne dan Jane, raut wajah mereka tampak khawatir. Zhyne memberikan segelas air minum kepadaku, sementara Jane membantuku duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Mimpi buruk lagi?" tanya Jane.

"Mimpi buruk?" tanyaku kembali. Aku masih bingung, sebenarnya apa yang baru saja terjadi? Rasa - rasanya tadi aku tidak berada disini.

"Iya, beberapa kali lo kayak gitu. Kita panik tau?!"

Mimpi buruk? Ah.. Iya, mimpi yang sama dari suatu peristiwa kelam di masa lalu. Trauma yang sampai kini masih sulit untukku lupakan. Setiap mimpi itu hadir, layaknya waktu telah diputar kembali ke masa itu. Terasa sangat nyata sehingga hatiku begitu sakit.

Aku mengangguk menanggapi Jane, lalu kuterima gelas yang sedari tadi disodorkan Zhyne. Aku meneguk seisi gelas itu hingga habis tak tersisa, berharap agar lebih tenang.

☜☆☞

Areezka

"Akkhh sial!"

Aku mengerang keras akibat rasa nyeri yang menjalar hebat di kepalaku. Detak jantungku berpacu lebih cepat atas rasa panikku, begitu juga napasku yang tak beraturan. Pandanganku seketika memburam. Kedua tanganku meraba nakas, saat tangan kananku mendapatkan sebuah botol kecil, kuyakini itu adalah benda yang kucari. Obat pereda nyeri. Aku pun segera melahap satu tablet, lalu kuraih segelas air minum dan segera meneguknya.

Hal ini tak jarang terjadi padaku sejak satu tahun terakhir, terlebih pada pagi hari. Aku selalu bersiap atas rasa nyeri yang akan hinggap di kepalaku, namun ternyata sampai saat ini pun aku tidak dapat beradaptasi dengan rasa sakitnya. Aku hanya dapat mengatasinya dengan Oxycodone, dan Naloxone yang dapat mengurangi efek sampingnya.

Sebenarnya, dokter pernah menyarankan untuk melakukan operasi sebelum sel - sel tumor otakku menjalar ke jaringan yang lainnya. Tetapi aku yang dibatasi oleh keadaan ekonomi hanya dapat membeli obat - obatan itu, dengan resep dokter tentunya.

Rasa sakit itu mulai berkurang, bukan hilang sepenuhnya. Memang tak bisa dengan waktu singkat untuk pulih dari rasa sakitnya. Namun aku bersyukur detak jantung serta napasku mulai kembali normal.

Kuraih sebotol Naloxone dengan jarum suntik di sampingnya. Lalu ku injeksikan 0,1 mg Naloxone itu secara intravena sesuai perintah dokterku dahulu.

☜☆☞

Lonceng tanda jam istirahat baru saja berdering, kurasa semua siswa - siswi SMA Tirta Amarta segera berlari menuju kantin untuk memanjakan perut mereka. Kecuali aku yang malah membaca buku fisika untuk mengusir rasa bosanku. Bukan hal yang tak biasa bagiku kini, hanya makan satu kali dalam sehari. Yakni pada saat mendapatkan uang makan per harian oleh pemilik toko kelontong tempatku bekerja paruh waktu.

Setitik CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang