19. Gangguan

132 17 4
                                    

Ada yang nunggu cerita ini nggak? Kalian curang cuma komen klau aku update lama, kenapa nggak komen ttg ceritanya sih hahahaha.

.........................🎃🎃🎃...........................
Selama di sekolah aku tak melihat wajah Darrel. Saat makan siang di kantin hanya ada Ali, Yuda dan Bagas. Mereka mengajakku semeja bersama. Litha tidak ikut bergabung bersama kami, aku tak tahu dia di mana. Bagas pun terkesan biasa saja, seolah dia tahu alasan Litha tak terlihat. Hingga aku pun urung untuk menanyakan tentang Darrel pada mereka.

Aku hanya tidak ingin setiap pertanyaanku akan menjadi masalah baru bagi Darrel. Aku takut rahasia Darrel yang belum sepenuhnya kuketahui kebenarannya menjadikan rasa penasaran untuk mereka dan membahayakan Darrel.

Aku cemas. Sungguh. Aku sangat mengkhawatirkan Darrel. Sejak pertikaian tadi pagi di rumah dengan Om Pram, aku belum bisa bertanya padanya.

Aku berdiri gelisah di dalam kamar sambil menunggu Litha pulang. Kuambil ponsel dan kugenggam erat. Sudah berkali-kali kukirim pesan, tetapi Litha sepertinya enggan menjawab.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada pesan dari Litha.

Litha : Kak Key, Sorry aku nanti bermalam di rumah Clara. Aku juga sudah minta izin sama Kak Darrel dan Om Pram. Mimpi indah ya, Kak :)

Kugigiti kuku jariku sembari berpikir. Apa Litha sengaja menghindariku?

Aku mondar-mandir saat waktu menunjukkan pukul 9.00 malam. Aku bahkan tak menyentuh makan malamku sama sekali. Darrel belum pulang. Dan aku khawatir. Aku laksana istri yang gelisah menunggu suaminya pulang. Ah, ngaco! Mana mau Darrel sama aku?!

Tapi aku beneran khawatir. Tadi aku sempat mengintip di kelasnya, sayangnya bangku itu kosong. Dia tidak masuk sekolah atau mungkin sedang ke toilet? Tapi jika ia masuk, kenapa tidak ke kantin? Apa Darrel juga menghindariku seperti Litha?

Oh, tidak-tidak! Aku nggak punya masalah apa-apa sama Darrel. Bahkan seharian ini aku belum bertegur sapa dengannya. Ish, kesal. Kenapa semuanya bisa serumit ini?

Ya, Tuhan ..., aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Ada apa sama Darrel? Masalah apa yang terjadi di keluarga ini?

Setengah jam berlalu hingga kudengar suara kunci pintu diputar dari luar. Aku tahu itu pasti Darrel. Ia sudah pulang. Aku bergegas keluar kamar dan mendapati Darrel masih di depan pintu kamarnya. Ia menoleh ke arahku. Menatapku. Penyamaran yang ia lakukan selama ini hilang entah ke mana. Seragamnya lusuh dan rambutnya berantakan.

"Kamu sudah makan malam?"

Eh? Aku menelan ludah susah payah, lantas menggeleng kaku.

"Semua menu sudah tersedia di atas meja. Makan, Key. Kasihan mereka sudah susah payah masakin buat kita."

"Terus k-kamu gimana?"

"Aku sudah makan di luar."

"Tap-tapi, Rel—" Darrel seketika terhenti ketika ia sudah akan melanjutkan masuk ke kamar. Tangannya masih menahan gagang pintu. "A-aku nggak terbiasa makan malam sendirian."

Ia masih memunggungiku, lalu menghela napas pelan. "Maaf, aku nggak bisa temani kamu," jawabnya, kemudian berlalu dari pandanganku, masuk ke kamarnya tanpa mau menatapku terlebih dahulu.

Aku sedih, kecewa. Aku bahkan belum sempat bertanya tentang keadaannya. Aku menatap kosong pintu di depanku. Dadaku sesak. Aku ingin membantu Darrel, tapi kenapa ia sulit sekali kuraih? Kenapa ia seakan terus bersembunyi dan menikmati rasa sakit hatinya seorang diri?

Aku berbalik dan menuruti permintaan Darrel. Tanganku meraba dinding di sepanjang lorong menuju tangga. Malam ini terasa sepi. Jauh lebih sepi dari biasanya. Sudah empat hari aku berada di sini, dan selama empat hari itu juga aku tersadar bahwa tiap malam para pembantu tidak pernah berkeliaran kecuali hanya untuk menyiapkan makan malam. Om Pram dan istrinya juga jarang di rumah. Hari ini pun mereka sepertinya nggak pulang.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang