"Kamu ke sini lagi?"
"Darrel?" Aku begitu kaget mendapati Darrel tiba-tiba berada di sampingku. Duduk bersamaku. "Ya. A-aku suka banget baca di sini."
Memang, walaupun aku pernah mengalami sesuatu yang mengerikan di sini, tetapi tak bisa dipungkiri tempat yang aku pijak sekarang adalah salah satu tempat favoritku di rumah besar ini. Aku hanya bisa menanamkan pada pikiranku, bahwa tidak akan pernah mengulangi acara membaca sambil tidur-tiduran sampai lupa waktu hingga membuatku benar-benar ketiduran seperti kapan hari.
Sungguh, itu pengalaman yang menakutkan bagiku.
Aku kembali melanjutkan membaca, tetapi nggak terlalu fokus. Sesekali sudut mataku mengikuti pergerakan Darrel. Aku meliriknya.
Ia duduk menyamping dengan sebelah tangan bertopang di atas pahanya. Menatapku.
Aku mulai resah dan gugup. Kuambil sejumput rambut dan kuselipkan di daun telinga untuk mengurangi kadar kegugupan itu.
"Ke mana Litha?"
"Eh?"
"Tadi pulangnya nggak bareng?"
"I-itu—"
"Itu apa?"
Kututup buku bacaanku, lalu kuberanikan diri menghadap Darrel. Menatap matanya yang begitu tajam dan tenang.
Kubasahi bibir bawahku. "Siang ini, a-aku nggak bareng sama Litha, Rel. Dia ... ada rapat OSIS lagi."
Darrel nggak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.
Kesunyian melanda kami. Ia masih saja menatapku. Setenang samudra, namun itu sudah cukup berhasil membuatku salah tingkah begini.
Titik-titik keringat mulai menyembul dari pori-pori kulit telapak tanganku. Kugenggam erat agar tak ada siapa pun yang tahu.
Aku menunduk sembari berpikir keras untuk mencari bahan obrolan agar Darrel nggak bosan dekat sama aku. Aneh. Seolah-olah semuanya buntu. Mendadak hilang dari semua pikiran.
Ish! Aku menggerutu. Kesal. Kenapa di saat Darrel di depanku, aku berubah layaknya orang bodoh yang tak tahu cara bagaimana berbicara dengan benar?
Kudongakkan wajah, menyusuri ruangan di sekitar. Tanpa sadar kedua sudut bibirku melengkung ke atas, menatap dengan tatapan berbinar.
"Nggak tahu kenapa, aku suka banget sama desain yang kamu buat di ruangan ini."
"Oh, ya?"
Aku berpaling ke arah Darrel yang tengah menatapku. Aku mengangguk, lalu mengedar pandangan lagi.
Senyumku melebar. "Tatanan dekorasi dan perpaduan warnanya pas. Nggak berlebihan." Aku masih meneliti setiap desain ruangan yang masih bisa kujangkau dalam penglihatanku. "Konsepnya keren. Simple tapi tetap terlihat elegan."
"Kamu satu-satunya orang yang memuji sedetail itu."
Seketika aku menoleh pada Darrel lagi. "Benarkah?"
Darrel mengangguk dan tampak senyum terbit dari bibirnya. Kontan hatiku ikut berbunga-bunga melihat pemandangan itu. Aku senang, sekaligus malu.
Aku mencoba kembali tenang. Percakapan kami seakan perlahan mulai rileks. Aku bahagia. Paling tidak aku sudah sedikit lebih berani, atau jika tidak, aku selamanya akan terbelenggu oleh angan-angan saja.
Aku menunduk sebentar, lantas menatapnya lagi. "Pujian itu emang pantas banget buat kamu kok. Kamu berbakat banget jadi desainer interior."
"Nggak usah berlebihan, Key. Entar aku terbang."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
HorrorSelama dua tahun aku hanya mampu mengagumi Darrel dari jarak jauh, mungkin kemudian Tuhan merasa kasihan padaku, hingga memberi kesempatan untukku agar lebih dekat lagi dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang tak terduga, aku bisa serumah dengannya...