"Anak-anak, Ibu minta perhatiannya sebentar," kata Bu Rika selaku wali kelas XII IPA 3. "Sekarang sudah menginjak semester 2, dan sebentar lagi kalian semua akan menghadapi ujian nasional, maka Kepala Sekolah kita telah memutuskan seluruh kelas XII diberikan tambahan jam belajar di awal sebelum jam pertama pelajaran dimulai," terangnya. Pandangan beliau menyapu kami ke segala penjuru ruangan. "Jadi, mulai senin depan kalian harus sudah sampai sekolah pukul 6.00 pagi. Kita nanti akan belajar menjawab latihan soal-soal ujian nasional. Mengerti semua?"
"Mengerti, Buuuuuu!" jawab hampir seluruh siswa di kelas.
Kuedarkan pandanganku sampai di bagian bangku terbelakang. Dahiku berkerut lalu berganti dengan senyuman tipis begitu mendapati jawaban yang terlontar ternyata berbanding terbalik dengan raut wajah mereka yang terlihat lesu.
Aku mengedikkan kedua bahu mencoba tak mau ambil pusing.
"Bagus. Untuk kali ini buka paket matematika halaman 21 bab kedua, pelajari terlebih dahulu rumus dan contoh-contoh soalnya. Ibu kasih waktu lima belas menit. Setelah saya kembali, kita akan bahas bersama-sama."
Krasak-krusuk dan suara dumelan terdengar di sana-sini, sedangkan aku hanya diam sambil membaca beberapa rumus buku paket di depanku. Aku terdiam, entah kenapa tiba-tiba kurasakan hatiku tak tenang sama sekali. Pikiranku tidak mau diam, kadang menuju rumah, kadang juga memikirkan beberapa hal yang tak jelas seperti sinyal radio yang buruk, selalu berganti saluran dan sangat kacau.
Aku menghela napas berat. Kusudahi acara membacaku, lagian semalam aku sudah sempat mempelajarinya di rumah. Kulipat kedua tanganku di atas meja. Sesekali kuputar kepalaku ke kanan dan kiri, lalu menghela napas berat lagi. Kelas yang selalu identik dengan keseriusan.
Memang benar, jurusan IPA membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi. Sekali kita salah memasukkan rumus dan gagal paham tentang pertanyaan, yaaa kita bakalan tersesat, nggak akan menemukan jalan keluar untuk jawabannya. Tetapi, terkadang aku jenuh dengan suasana kelas ini. Semuanya dipenuhi keseriusan dan apa ya ... seperti terlalu bersifat individual.
Bagiku, kelas ini penuh dengan kebohongan. Di saat mereka tidak butuh aku, mereka membangun tembok yang tinggi agar aku tidak bisa mendekat, memisahkan ruang seakan-akan tidak saling mengenal. Dan di saat mereka membutuhkanku, seolah sekat itu tidak ada lagi, berpura-pura bersikap manis layaknya teman dekat.
Kulemparkan pandanganku ke luar kelas. Bangkuku berada di baris depan, nomor dua dari pintu kelas. Jika tidak ada guru dan bosan sudah menyerang, aku sering menggunakan waktuku bermenit-menit memandang keadaan luar. Melihat situasi bagian depan perpustakaan yang berjarak 25 meter dari sini, kadang juga melihat beberapa siswa atau para guru yang hilir mudik ketika melewati kelas XII IPA 3.
Tak ada beberapa detik, aku dikejar rasa penasaran saat mendapati ada cewek dan cowok berhenti di depan perpustakaan. Mereka seperti tengah membicarakan sesuatu. Masalahnya, aku seolah mengenal sosok cowok tersebut.
Kusipitkan mataku, kupertajam penglihatanku. Sontak mataku membelalak begitu mengetahui kebenaran dalam dugaanku. Cowok itu Darrel. Tapi, dia bersama dengan siapa? Ada hubungan apa dia dengannya? Kenapa mereka akrab sekali? Cewek itu pun rasa-rasanya nyaman sekali berada di dekat Darrel.
Kulihat beberapa kali Darrel tersenyum ke arahnya. Spontan tubuhku menegak.
Oh, apa-apaan ini? Mengapa aku mendadak ingin marah? Aku kesal. Kenapa masih ada cewek yang mendekatinya walaupun tampang Darrel nggak mencerminkan cowok populer di sekolah?
Dilihat dari badge seragam berwarna merah yang terpasang di lengan sebelah kanannya, bukankah itu berarti si cewek masih kelas X? Kenapa dia berani sekali mendekati kakak kelas? Dan mengapa harus Darrel?
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
HorrorSelama dua tahun aku hanya mampu mengagumi Darrel dari jarak jauh, mungkin kemudian Tuhan merasa kasihan padaku, hingga memberi kesempatan untukku agar lebih dekat lagi dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang tak terduga, aku bisa serumah dengannya...