Semua berawal dari kejadian itu.
Kejadian di mana ketidaksengajaanku melihat tingkahnya yang agak ganjil di mataku. Kejadian yang membuatku penasaran di setiap arti senyum dan tatapannya.
Terkadang senyum itu secerah mentari tatkala sapaan kian menerpanya, dan akan sirna di kala sepi menyerangnya. Tatapannya sangat bersahabat ketika dia berada dalam keramaian, berbanding terbalik jika dalam keadaan sunyi.
Dulu, aku pikir dia mempunyai hal yang istimewa hingga menjadikan dia banyak disapa dan diajak berbincang oleh teman-temannya.
Menurutku dia tergolong cowok yang biasa-biasa saja. Tampilannya sederhana. Rambut yang dibelah pinggir dengan kaca mata tebal yang selalu menghiasi wajahnya serta seragam yang tak pernah ia keluarkan, membuatku yakin bahwa ia hanya siswa biasa yang taat akan tata tertib sekolah sepertiku dan tak punya kelebihan apa pun di bagian fisiknya.
Oke, mungkin untuk tinggi badan dan hidung mancungnya mempunyai nilai tambah dari dirinya, tapi selain itu tidak ada.
Di waktu jam pelajaran berlangsung, aku pernah beberapa kali berpura-pura izin ke toilet hanya sekadar untuk memastikan sesuatu. Mengintainya dari balik kaca dan melihat tingkahnya di dalam kelas seperti apa.
Mataku membulat ketika pertama kali kudapati dia hanya tidur-tiduran di bangku paling belakang, menjadikan buku paket dalam keadaan berdiri dan ia berlindung di baliknya. Setelah kejadian itu, aku sering mengulangi mengintipnya berharap hanya sekali dua kali aku melihatnya seperti seorang pemalas, dan nyatanya hampir setiap hari juga aku temukan dia sedang bergurau bersama temannya atau dalam kondisi tidur-tiduran di dalam kelas.
Lalu yang menjadi pertanyaan, dari semua kekurangannya, mengapa masih banyak teman-teman yang mengelilinginya?
Hari berganti hari, tahun berganti tahun, aku pun mulai hafal kebiasaannya. Berawal dari rasa penasaran, rasa sukaku pun mulai tumbuh tatkala aku menyadari ada beberapa kelebihan darinya yang tak bisa kuabaikan.
Seperti sekarang ini, di saat semua cewek bersorak dan menyemangati Rio—kapten basket sekolah kami—tatapanku justru tak lepas dari cowok yang aku sukai.
Mereka selalu berteriak memanggil-manggil nama Rio setiap bola berwarna oranye itu masuk dengan mulus ke dalam ring. Mereka tidak menyadari, bahwa ada satu cowok yang sedari tadi membantu merebut bola dari lawan dan selalu dioperkan kepada kawannya tanpa berniat melemparkan sendiri ke dalam ring meski peluang terbuka lebar.
Awalnya aku bingung akan tingkahnya, bahkan aku sempat merutuki kebodohannya. Namun, makin hari aku makin mengerti jalan berpikirnya. Ia bukannya tidak bisa, tetapi ia memang tidak mau. Seolah-olah ia sengaja menutupi kelebihan yang ia punya.
Sudah menjadi kebiasaan di sekolah ini, setiap pulang sekolah ada beberapa kelas bergantian memakai lapangan basket outdoor untuk adu kemampuan. Mungkin, karena jam istirahat di sekolah kami hanya diberikan waktu dua puluh menit hingga mereka lebih memilih nongkrong di kantin atau ke hal-hal yang lain daripada menggunakannya bermain basket.
Pertandingan bola basket antar kelas kali ini kembali dimenangkan oleh kelas XII IPA 2. Para cewek berjubel mengerumuni Rio, sementara kelihatannya hanya aku yang berbelok arah mengikuti dia pergi.
Aku tahu selanjutnya ke arah mana dia pergi. Maka, aku segera berbalik mencari jalan lain yang bisa mempercepat lariku agar cepat sampai lebih dulu.
Di sinilah aku. Di dalam lapangan basket indoor. Bersembunyi di antara kursi tribune yang berada di dua tingkat dari atas. Membungkuk, merundukkan kepala sambil memata-matai gerak-geriknya.
Suara pintu terdengar telah dibuka oleh seseorang. Dan aku tahu dia yang datang, hendak melanjutkan permainan bola basketnya seorang diri.
Lihatlah, ia sudah mulai melepas kaca matanya. Selalu seperti itu. Ketika tidak ada satu pun orang di dekatnya, ia seakan-akan berubah menjadi orang lain lagi.
Kini ia sedang memantulkan bola di tengah lapangan. Keringat bercucuran di dahinya, sesekali ia menyeka kasar dengan lengan kirinya. Menghasilkan gelenyar di tubuhku kian meningkat tatkala rambut depannya tersibak ke atas meski hanya sekejap.
Tangannya mendribel bola dengan kaki yang terus bergerak, menimbulkan dentuman keras, hingga bunyinya menggema di seluruh ruangan yang sepi.
Berkali-kali ia berhasil memasukkan bola ke dalam ring dengan berbagai gaya yang sungguh menakjubkan. Akurasi tembakannya juga sangat bagus sehingga jarang ada tembakannya yang meleset. Bahkan, kini ia tengah bersiap melakukan ancang-ancang untuk memasukkan bola di luar daerah pertahanan. Dan, yup, ternyata ia juga berhasil mencetak three point dengan mudah.
Aku semakin terkesima padanya. Jarang ada orang yang mempunyai bakat luar biasa tapi tidak menunjukkannya di depan umum. Ini hanya salah satu kelebihan yang ia sembunyikan, ada beberapa hal lain lagi yang tak pernah ia tunjukkan kepada teman-temannya.
Hampir satu jam ia berlatih sendirian, dan seperti biasanya aku pun masih setia mengintip dari celah tersembunyi untuk selalu menatap ke mana pun ia bergerak.
Tiba-tiba dering panggilan dari ponselku menggelegar memenuhi ruangan. Aku tersentak dan kelabakan mencari ponsel yang kuletakkan ke dalam tasku.
Suara grasah-grusuh dari tanganku menggeledah isi tas, dan dengan panik kutekan tombol berwarna merah saat ponsel sudah berada di genggaman.
"Siapa di sana?" Aku semakin menunduk saat suara itu menggema di telingaku. "Kamu tetap nggak mau jawab?"
Aku meringis dalam diamku seraya memejamkan mata erat-erat. Detak jantungku pun berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Rasa takut dan malu terus membayang di pikiranku.
Bodoh! Harusnya tadi aku nggak lupa menonaktifkan ponselku.
"Jadi kamu masih memilih untuk tetap sembunyi? Jangan salahkan aku jika aku terpaksa naik ke atas menemuimu."
Nggak. Dia nggak boleh tahu siapa aku yang sebenarnya.
Aku panik. Kugigit bibirku kuat-kuat. Aku terus merangsek maju, merapatkan diri pada sandaran di depanku. Menenggelamkan kepala agar tak terlihat olehnya.
"Aku hitung sampai tiga kali. Satu ... dua ...," Astaga, keringat dingin sudah mulai mengalir dari pelipisku, "tiga."
Aku gelagapan begitu waktu yang telah ditentukan telah habis. Suara langkah kakinya tertangkap indra pendengarku, sedangkan degup jantungku semakin menggila seolah-olah akan melompat dari tempatnya.
Ya, Allah ... kumohon bantu aku.
Tubuhku gemetaran diiringi dengan rasa was-was, sementara langkah kakinya bertambah dekat dan kian terdengar jelas.
Entah dapat dorongan dari mana, sebelum dia berjongkok melihatku, aku sontak berdiri dan menutupi wajahku dengan tas slempang yang kubawa.
"M-maafkan aku," ucapku tergagap lantas segera menarik langkah seribu menghindarinya.
Dari balik pintu yang tertutup, napas lega lolos dari mulutku. Kuraba jantungku yang masih berdetak tak karuan.
"Hampir saja aku ketahuan," gumamku sembari berjalan menjauh meski sesekali aku menengok ke belakang.
Aku tidak tahu kapan bisa mempunyai keberanian bertatap secara langsung dengannya, tapi yang pasti selama dua tahun ini rasaku masih tetap sama kepadanya. Bahkan makin bertambah tiap harinya.
Terkadang aku senang melihat semua mata tak tertuju padanya. Karena dengan begitu, berarti hanya aku saja yang bisa menikmati semua bakat dan ketampanannya.
Khusus untuk yang terakhir, itu tebakan saja. Hanya mengikuti sebuah naluri semata. Tapi aku yakin, dia lebih dari sekadar tampan. Hanya saja ia menarik diri dan membuatnya seolah-olah menjadi cowok biasa.
Dia yang biasa, namun akan selalu menjadi yang terspesial bagiku.
.........................🎃🎃🎃...........................
Semoga ada yang komen wkwkwkk....
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
HorrorSelama dua tahun aku hanya mampu mengagumi Darrel dari jarak jauh, mungkin kemudian Tuhan merasa kasihan padaku, hingga memberi kesempatan untukku agar lebih dekat lagi dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang tak terduga, aku bisa serumah dengannya...