10. Acara Malam

394 46 16
                                    

Aku dan Litha sudah selesai mandi. Kupikir setelah ini aku akan tidur rebahan untuk sementara waktu, agar tubuhku rileks barang sejenak. Badanku rasanya capek dan pegal-pegal.

Tapi tidak. Barusan Litha bilang, Om Pram meminta kami ke bawah agar bisa makan malam bersama. Ya sudah, alhasil aku batal menuruti keinginan tubuhku untuk rehat dan lebih memilih mengikuti Litha yang menggandeng tanganku dengan ceria.

"Malam, Paman," sapa Litha saat kami sudah memasuki ruang makan.

"Malam, Litha," jawab Om Pram sembari tersenyum, lalu menoleh ke arahku. "Malam, Key."

Aku tersenyum sopan. "Malam, Om."

Kuamati ruangan di sekelilingku. Satu set meja makan yang berbahan kayu dengan lampu kristal mewah menggantung di atas meja. Berpendar menghasilkan warna temaram yang terkesan agak gelap lagi. Aku menahan sesak yang menghimpit di dada. Kenapa sih hampir semua ruangan harus berlampu kekuningan seperti ini? Kalau gini mending nggak usah pakai lampu sekalian, kan?

 Kenapa sih hampir semua ruangan harus berlampu kekuningan seperti ini? Kalau gini mending nggak usah pakai lampu sekalian, kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sudah bilang dari awal, aku nggak suka warna gelap. Meski aku suka sendiri, tapi aku lebih suka warna cerah. Biar makin hidup. Paling tidak mereka nggak akan membunuh kesunyian yang aku rasakan setiap hari.

Tapi aku bisa apa, kecuali harus beradaptasi dengan keaadaan rumah ini.

"Duduk, Key," pinta Om Pram.

"Ya, Om. Makasih."

Ada delapan kursi yang mengelilingi meja panjang ini. Tiap sisi terpanjang ada tiga kursi, dan sisi terpendek terdapat satu kursi. Kuambil tempat duduk yang berdampingan dengan Litha.

"Kita tunggu Darrel dulu, ya," kata Om Pram.

Aku meneguk ludahku. Duh, baru mendengar nama Darrel di sebut saja, rasanya badanku gemeteran. Nggak tahu gimana lagi jika bertatap mata dengannya.

"Memangnya Kak Darrel sudah pulang, Paman?"

"Sudah. Bentar lagi juga turun," sahut Om Pram. "Nah, itu dia datang."

Seketika tubuhku menegak tak berani melihat ke belakang. Dan saat kutahu Darrel tiba-tiba duduk tepat di depanku serasa jantungku mau loncat saja. Aku makin tegang, nggak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya aku milih nunduk saja. Aku benar-benar nggak punya nyali walaupun sekadar menatap wajahnya. Aku syok. Aku senang. Aku bahagia. Tapi aku juga malu.

Aku memang cewek aneh. Persis seperti apa yang pernah dikatakan teman-teman sekelas.

"Malam semuanya."

"Malam, Rel."

"Malam, Kak Darrel."

Giliranku. Aku jawab nggak, ya? Tapi aku takut. Aku kan baru gabung sama keluarga ini. Masa iya, aku langsung jawab. Entar kalau dikira sok akrab, gimana?

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang