25. Sang Penunggu

28 6 0
                                    

Setelah makan siang bersama Darrel, aku keluar sebentar untuk mencari angin segar. Halaman rumah di sini begitu luas. Sebagian besar terdapat rumput menghijau serta ditanami pohon peneduh hingga semilir anginnya menerbangkan beberapa helai rambutku.

Netraku menyusuri beberapa pemandangan yang bisa kujangkau. Tepat di bawah sebuah pohon tinggi nan besar dengan daunnya yang rimbun, para pembantu tampak berkumpul sambil duduk di sana. Dari sekian pohon, aku rasa hanya pohon itu yang lebih mendominasi dari ukuran besar dan diameter batangnya.

Aku perlahan mendekat. Begitu mereka melihat aku berjalan ke arahnya, bisa kudapati tadinya mereka yang mengobrol seru tiba-tiba terdiam serentak.

"Siang, Non Keyla," sapa salah satu pembantu sambil mengangguk kecil.

"Siang," jawabku seraya tersenyum. " Kenapa pada diam? Dilanjut saja obrolannya. Aku nggak akan ganggu kok."

"Oh, nggak apa-apa, Non. Cuma obrolan biasa," jawab Mang Parlan sembari mengusap lengannya seolah sungkan padaku.

"Oh, ya? Kok sepertinya obrolannya bukan hal biasa?"

Anehnya mereka saling pandang, lalu menggeleng serempak.

Aku mengerutkan dahiku. Seperti ada yang disembunyikan dari mereka.

Aku berdeham sambil berpikir bagaimana cara membuat mereka memberikan sedikit informasi padaku tentang rumah ini. Jika aku ingin menguak misteri yang tersembunyi di dalamnya dan juga mau membantu Darrel memecahkan clue yang dikirimkan melalui goresan tangannya, aku harus mulai dari hal terkecil.

Tapi sebelum itu, aku mendapati ada yang kurang dari mereka. Aku terdiam sembari meneliti wajah mereka satu per satu.

Ah, ya! Mas Bejo dan Mbak Surti nggak ada di antara mereka. Aku memang sudah mulai hafal beberapa nama dari tujuh pembantu di sini.

"Mas Bejo sama Mbak Surti ke mana, Mbok?" tanyaku pada Mbok Darsih yang lebih tua di antara mereka semua.

Tiba-tiba air mata meleleh di pipinya yang mulai keriput.

"Lho, kok nangis, Mbok?" Aku panik, juga khawatir.

"Bejo sama surti keluar, Non," ucap Mbok Darsih sambil terisak kecil.

Hah?

Segera aku mendekat, mengelus pundak Mbok Darsih mencoba menenangkan, berharap beliau tetap kuat dan sabar.

"Keluar? Keluar kerja maksudnya?" tanyaku, menatap yang lainnya sembari masih mengelus pundak Mbok Darsih.

"I-iya, Non," jawab Mang Parlan tergagap-gagap.

"Kenapa keluar, Mang? Apa mereka dipecat Om Pram?"

Mereka menggeleng.

"Atau dipecat Darrel?" tebakku lagi.

Sekali lagi mereka menggeleng bersamaan dengan tampang sedih dan lemas.

"Mereka keluar atas kemauan sendiri, Non." Kali ini Mbak Lilis yang bantu menjawab.

"Tunggu, tunggu! Keluar atas kemauan sendiri? Bukannya kalian di sini diperlakukan dengan baik?" tanyaku heran.

Perkataanku memang tidak salah, karena selama tinggal di sini aku sering melihat Om Pram maupun Darrel sangat ramah pada mereka semua. Bahkan aku beberapa kali mendapati Darrel memberikan tambahan uang jika meminta tolong untuk mengambilkan atau membelikan suatu barang.

"Ya, Non. Keluarga Den Darrel sangat baik, malahan gaji kami lebih dari cukup untuk mengirim uang ke keluarga kami di desa," ujar seorang bapak yang sudah tumbuh uban di kepalanya. Kalau nggak salah namanya Pak Bambang.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang