Hari ini aku tidak sengaja melewati ruangan basket indoor. Aku harusnya nggak jalan ke sini, tetapi seolah kakiku mengikuti isi hatiku. Susah diatur, dan selalu condong pergi ke tempat ini. Benar-benar menyebalkan!
Aku berhenti tepat di depan pintu. Namun, aku ragu. Seakan baru tersadar, ada rasa khawatir dan takut yang menghantam jantungku.
Dia telah mengetahui aku yang selama ini mengikutinya dan diam-diam melihatnya main basket. Aku malu, super malu. Aku nggak nyangka Darrel bisa secepatnya sadar bahwa itu adalah aku.
Sesungguhnya sejak dia memergokiku mengintip di antara kursi tribune saat dia sedang main basket, sejak saat itu pula aku berhenti untuk membuat malu diriku sendiri. Menekan keinginan agar tidak pergi ke ruangan ini lagi.
Tapi, mau bagaimana lagi? Mungkin rasa sukaku sudah mengakar, sehingga tanpa kusadari jiwa dan pikiranku selalu menginginkan datang ke sini.
Mataku mengerjap. Tanganku yang akan menyentuh gagang pintu kini mengambang di udara. Tak jadi aku teruskan dan masih membeku di tempat.
Kutarik tanganku dan kugigit bibirku. Suara entakan bola yang beradu dengan lantai terdengar dari luar. Membuatku ingin sekali masuk ke dalam, menikmati permainannya dan tentu saja ketampanannya juga.
Akan tetapi ... aku takut. Aku nggak berani. Sungguh, aku ini memang cewek pemalu. Juga pengecut.
Tatkala tubuhku berbalik dan akan pergi saat itu juga, rasa ragu kembali membelitku. Kukepalkan kedua tangan dan menggertakkan gigiku menghadap pintu. Lagi-lagi aku selalu tidak bisa mengendalikan sikap dan terus saja plin-plan.
Sudah beberapa hari ini aku tidak pernah membayanginya. Jujur, aku sangat rindu melihatnya bermain basket.
Menguatkan pilihan dan mencoba meneguhkan hati, akhirnya kuberanikan diri menggapai gagang pintu di hadapanku. Kupejamkan mata dan beberapa kali mengatur napasku. Kurasa jika hanya melihatnya dari luar, menurutku tidak akan jadi masalah.
Pelan-pelan kubuka pintu, cuma menunjukkan celah kecil untuk kupakai mengintip sedikit keadaan di dalam ruangan.
Darrel di sana.
Di sebuah lapangan basket dengan gerakan lincahnya saat memasukkan bola ke ring. Keringat yang mengucur dan tangan kokohnya kembali mendribel bola dengan lihai, membuatku terpaku di tempat.
"Kalau mau lihat masuk saja, nggak perlu sembunyi-sembunyi!"
Aku tersentak.
Tiba-tiba suaranya yang nyaring menyerang gendang telingaku. Ia berteriak tanpa menoleh padaku. Masih mendribel bola, kemudian melakukan tembakan memasukkan bola ke dalam ring dengan santai.
Mataku membelalak, syok.
Apa Darrel sudah tahu sejak tadi aku di sini?
Aku membeku di tempat. Nggak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Darrel menghadapku dengan memegang bola basket di tangannya. Sementara aku ingin mundur dan berlari kencang, tetapi apa daya seolah kakiku menempel kuat di lantai. Susah digerakkan dan rasanya aku ingin sekali menghilang saat ini juga.
Ia diam menatapku. "Ada masalah?"
Aku menggeleng kaku. Ya, Tuhan ... selamatkan aku.
Tanpa sadar tanganku bergerak melebarkan pintu. Aku berdiri gelisah dan menatap takut-takut ke arah Darrel.
Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, melihatku seolah sedang menilai. "Kenapa? Malu karena tertangkap basah olehku lagi?"
"M-m-maaf." Kubasahi bibirku. Gugup menerjangku setengah mati. "I-itu, aku—"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
HorrorSelama dua tahun aku hanya mampu mengagumi Darrel dari jarak jauh, mungkin kemudian Tuhan merasa kasihan padaku, hingga memberi kesempatan untukku agar lebih dekat lagi dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang tak terduga, aku bisa serumah dengannya...