12. Pagi Bersama

332 53 31
                                    

Setelah aku menenangkan Litha bahwa aku baik-baik saja dan berjanji nggak akan pindah, ia mulai tenang dan kembali tidur. Memang ini sudah pagi tapi sekolah kami masuk jam tujuh, sementara sekarang waktu masih menunjukkan pukul 4.30 pagi. Wajar saja Litha meneruskan tidurnya, lagian jarak rumah ini cukup dekat dengan sekolah.

Aku tersenyum sambil menatap kepolosan Litha saat tidur begini. Nggak nyangka saja, cewek periang kayak Litha bisa setakut itu bila teman sekamarnya pindah. Memangnya, ada apa? Bukankah sebelum ada aku, dia juga tidur sendirian di kamar?

Aku mengerutkan kening sembari berpikir. Ah, mungkin ia hanya butuh teman. Kasihan sekali Litha. Rumah sebesar ini memang siapa yang nggak merasa kesepian?!

Tiba-tiba aku teringat mimpiku tadi. Bayangan hitam? Wanita tanpa kutahu wajahnya? Darrel? Rumah yang sunyi dan angker? Suasana yang terasa aneh dan janggal?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mencoba diam dan berpikir positif. Tapi tetap saja begitu banyak pikiran dan pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku.

Kuputuskan untuk menunaikan salat subuh dua rakaat. Perasaanku berangsur-angsur membaik. Begitu lega dan damai. Rasa optimisku juga kembali datang.

Hari ini adalah hari senin. Hari pertama penambahan jam belajar dalam persiapan menghadapi ujian nasional nanti. Dan itu pun harus masuk tepat jam 6.00 pagi.

Mengingat sekolah dan teman-teman sekelas, mood-ku mendadak memburuk. Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa berhenti membenci mereka. Yang aku ingat, setiap di sana aku selalu saja merasakan sebuah perasaan terasingkan dan hampa.

Aku kerap merasa sendirian di kelas. Nggak ada teman yang mengerti aku. Nggak ada yang benar-benar mau mengajak ngobrol aku. Sakit, aku serasa disingkirkan. Semuanya sibuk sendiri dengan gengnya masing-masing. Terkadang bergosip tentangku. Tentang keanehanku atau ketidaksukaannya mereka padaku.

Nggak ada yang benar-benar tulus mau berteman padaku. Hal itu kadang-kadang membuatku muak. Dan juga sedih secara bersamaan. Aku sering ingin menangis sendiri. Tapi aku bisa apa, aku hanya cewek yang suka menyendiri. Bukan-bukan. Maksudku, sebenarnya aku juga nggak menginginkan kesendirian, tetapi keadaan yang membuatku seperti itu.

Mereka yang mengasingkanku. Mereka yang ingin aku menjauh. Mereka tak sekalipun memberiku kesempatan untuk bergabung. Sedangkan aku sendiri selalu butuh waktu agak lama jika harus dipaksa untuk bersosialisasi di keramaian.

Aku memang gini. Selalu merasa canggung apabila tidak terlalu kenal sama seseorang.

Akan tetapi, mereka juga nggak berhak menghakimiku dengan prasangka yang buruk-buruk kan? Mereka pikir aku nggak punya hati, apa?! Selalu berbisik-bisik jelek tentangku, tentang kelakuan anehku. Kesal! Aku benci mereka. Mereka sukanya main belakang. Kenapa kalau mau jelek-jelekin aku nggak sekalian saja di depanku? Apa mereka takut? Kurasa tidak.

Mereka baik di depanku hanya di saat ada maunya!

Gigiku gemeretak. Dongkol, jengkel, marah tiba-tiba bersekutu mempermainkan perasaanku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu segera bergegas mandi dan berganti baju seragam.

Kusiapkan semua perlengkapan sekolahku, lantas aku turun ke bawah—ke ruang makan—yang sudah ada Darrel di sana.

"Pagi," sapaku agak kikuk.

Darrel yang kini sudah memakai kacamatanya beserta rambut yang disisir pinggir dengan ponsel berada di genggaman, terlihat mendongakkan wajahnya, menatapku.

"Pagi juga," ucapnya sembari memasukkan ponselnya ke saku seragam. "Ayo, kita sarapan."

Apa? Ayo kita sarapan? Apa ini berarti Darrel sengaja menungguku untuk sarapan bersama?

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang