13. Alasan yang Masih Ditutupi

366 46 62
                                    

"Soal nomor 10 ada yang tahu jawabannya?" tanya Bu Rika.

Aku mengacungkan tangan.

"Kenapa dari tadi cuma Keyla yang mengacungkan tangannya? Yang lain ke mana?"

Perlahan kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Benar kata Bu Rika, hanya aku yang mengacungkan tangan. Aku ... merasa nggak enak tatkala kudapati beberapa pasang mata memandang sinis ke arahku.

"Ya sudah jawaban kamu apa, Key? A, B, atau C?"

"A, Bu."

"Bagus. Kamu maju lagi dan kerjakan di papan tulis."

Aku mengangguk sopan. "Baik, Bu."

Meskipun aku mendengar bisik-bisik seperti, "Dasar sok pintar!"

"Mau pamer, tuh."

"Cari muka biar disayang Bu Rika itu."

Dan masih ada beberapa bisikan lainnya hinggap di telingaku.

Mereka ini kenapa? Bukankah setiap ada PR, mereka juga sering menyontek hasil jawabanku? Mengapa sekarang malah mengataiku?

Tetapi, aku tetap diam. Mencoba tak ambil pusing. Aku nggak mau mencari keributan. Aku nggak akan bikin kedua orangtuaku marah lantaran aku membuat masalah di sekolah.

Selama ini ayah selalu menasehatiku agar menjadi anak baik-baik, sedangkan bunda kerap titip pesan, "Jadi anak itu harus sopan, Key. Percuma cerdas, mempunyai titel tinggi, tapi nggak punya tata krama." Kayak gitu. Tentunya aku akan mematuhi segala perkatan ayah dan bunda.

Aku menghela napas sebentar, kemudian berjalan ke depan. Kutulis rumus-rumus yang kupakai untuk menjawab soal matematika nomor 10 di papan putih sedetail dan secepat mungkin. Selepas menemukan jawaban akhir, segera aku kembali ke bangku asalku.

"Oke, benar," ucap Bu Rika, "tapi untuk soal ini rumus yang kamu pakai terlalu panjang, Key. Nanti kamu malah kehabisan waktu."

Bu Rika mencoba menulis sesuatu di papan itu dan mengerjakan lebih cepat dari aku. "Lain kali kamu dan yang lain kalau menemukan soal begini di ujian nasional nanti, saran ibu pakai rumus yang sudah saya tulis ini saja."

"Baik, Buuuuuu...."

Aku nggak ikut menyahut, masih fokus dengan rumus yang Bu Rika pakai. "Oh, gitu." Setelahnya aku mengangguk mantap. Memang rumus ini jauh lebih singkat dan efisien.

"Karena bel masuk sudah berbunyi. Jadi penambahan jam belajar kita cukup sampai di sini. Jangan lupa, setiap senin sampai rabu kalian harus tiba di sekolah jam enam tepat ya."

"Ya, Bu!" Semuanya menjawab kompak. Penuh semangat serasa mendapat energi baru.

Sementara aku, hanya tersenyum samar sambil menyalin rumus yang ada di papan tulis. Dan Bu Rika pun keluar dari kelas XII IPA 3.

🎃🎃🎃
Waktunya istirahat. Rencana aku ingin langsung ke perpustakaan, hanya saja saat di depan kelas kudengar suara tawa menggelegar dari Yuda. Cowok itu jika tertawa memang kencang banget. Nggak pernah menghiraukan keadaan sekitar.

Kutolehkan kepalaku ke kiri. Terlihat Yuda, Ali, Bagas dan Darrel baru keluar kelas juga. Kukira mereka akan terus berjalan ke arahku—melewati kelas XII IPA 3—untuk pergi ke kantin. Tetapi kali ini mereka memilih berputar balik dan berhenti di samping kelasnya.

Memang, tatanan untuk ruang kelas XII dibuat sedikit aneh. Diacak. Semestinya kelas IPA 3 bersebelahan dengan kelas IPA 2, kan? Tapi tidak! Ini malah kelasku harus berdekatan dengan IPA 1 baru kemudian IPA 2. Yang benar kan letaknya harus urut. Bikin kesal!

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang