14. Seseorang yang Tak Kutahu Siapa

352 37 63
                                    

Siang ini aku terpaksa pulang sekolah sendirian karena Litha sedang ada rapat OSIS, katanya mau membahas lanjutan rapat yang sempat ditunda pada hari sabtu kemarin. Aku berjalan sambil mengingat-ingat arah jalan yang kuyakin tidaklah sulit, lagi pula aku sudah pernah dua kali ditemani Darrel dan Litha.

Omong-omong soal Darrel, mungkin dia sekarang lagi latihan basket seperti yang ia lakukan di hari-hari sebelumnya. Aku nggak mengintip kegiatannya, bukannya tidak mau, tapi aku takut jika kali ini keberuntungan tidak berpihak padaku. Masih untung waktu itu Darrel tidak melihat wajahku, kalau saja tadi kuulangi mengintip dan sampai ketahuan lagi, bisa-bisa Darrel akan tahu siapa aku yang sesungguhnya. Dan, aku nggak mau itu terjadi!

Lima belas menit, aku pun sampai. Dua pembantu yang belum kutahu siapa namanya, terlihat tengah bersih-bersih serta memotong rumput di halaman depan rumah.

"Siang, Pak," sapaku sembari setengah menunduk.

"Siang...," ucap mereka berbarengan, tersenyum padaku, lalu kembali sibuk bekerja.

Aku ingin berbincang-bincang sebentar, namun kuurungkan niat begitu mereka tiba-tiba pindah tempat. Apakah mereka sengaja menjaga jarak dariku?

Ah, mungkin saja itu hanya perasaanku saja. Siapa tahu mereka benar-benar sibuk, kan?

Aku masuk ke dalam rumah. Berhenti di depan pintu dan kuedarkan pandangan. Sepi. Memangnya rumah sebesar ini ekspektasi apa yang aku harapkan?

Aku mengedikkan bahu, kemudian melangkah menuju tangga.

Tiba-tiba geraman aneh terdengar. Aku sontak menoleh seraya memegang pegangan tangga. Tak ada siapa pun. Namun, sekujur tubuhku merespons sebaliknya tatkala mataku tertumbuk pada lukisan di sebelah kananku.

Dia ... kenapa seolah-olah mengawasiku?

Aku berlari menaiki tangga. Aku nggak mau berasumsi yang bukan-bukan. Berpikir paranoid adalah sesuatu yang harus aku jauhi mulai sekarang, atau akibatnya akan berakibat buruk pada diriku sendiri. Terutama bakalan menjadikanku semakin jauh dengan Darrel. Oh, tidak!

Ketakutanku akan pisah dengan Darrel lebih kuat daripada rasa takut terhadap hal-hal semengerikan apa pun itu. Lebih sakit membayangkan tidak bisa mendengar suara Darrel daripada dihantui oleh suara-suara aneh yang tak kutahu siapa orangnya.

Di kamar, aku segera ganti baju dan salat zuhur. Turun untuk makan siang sebentar, lalu setelah itu kembali ke kamar.

Bosan mencengkeramku. Mau jalan-jalan ke luar, tapi aku belum tahu sebahaya apa lingkungan di sekitar sini. Aku kan sudah janji sama bunda agar tetap hati-hati dan akan baik-baik saja. Jadinya, mending kualihkan yang mudah-mudah saja. Membuka buku PR fisika dan kubawa ke rumah surga di lantai 2, misalnya.

Kuambil tas dan segera turun lagi menuju rumah surga buatan Darrel. Sesungguhnya geli juga sih menamakan ruangan itu dengan sebutan "Rumah Surga", tapi kan itu lebih baik ketimbang Litha yang menyebut "Tiny House". Rumah mungil yang faktanya masih berada dalam satu lingkup sama dengan rumah utama.

Oh, atau mungkin aku namai dengan sebutan "Ruang Tersembunyi"? Ya, itu kayaknya lebih baik.

Sesampainya di depan pintu aku berdiri dalam diam ditemani jantungku yang sedikit berdebar. Padahal di dalam hanyalah ruangan kosong yang desainnya dikerjakan oleh Darrel, tetapi sudah membuatku segrogi ini. Bagaimana jika bertemu langsung dengan orangnya?

Aku menghela napas sesaat, lantas membukanya. Sedikit lega ternyata ruangan ini tidak terkunci sama sekali, hingga membuatku mudah masuk tanpa harus bingung mencari kuncinya.

Kuayunkan kakiku memasuki ruangan tersebut. Senyumku mengembang memandang suasana di dalamnya. Benar-benar beda jauh sama keadaan di luar. Desain ini sangat modern dan bikin nyaman.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang