"Kak, tunggu!"
Aku yang berjalan sendirian menuju kantin nggak mau menoleh. Panggilan itu mungkin bukan ditujukan padaku, tetapi anak lain.
Aku terus melangkah tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Keadaan yang dipenuhi siswa-siswi duduk bergerombol dan bercanda bersama. Keadaan yang sering buatku iri dan ... sedih.
"Hei, Kak, tunggu. Kak Key!"
Itu namaku. Kuputar tubuhku. Ada Litha di sana. Berjarak 5 meter di depanku. Ia membungkuk sambil terengah-engah. Di belakangnya ada dua anak yang ikut mengejar dan berhenti di sebelahnya.
"Lit, kamu kenapa sih tiba-tiba lari gitu? Kami capek nih ngejar kamu," gerutu salah satu teman Litha, ngos-ngosan sembari memegang pinggang, sedangkan teman satunya lagi mengangguk menyetujui.
Litha tertawa. "Maaf, maaf. Tadi Kak Key waktu aku panggil nggak dengar, makanya aku lari ngejar."
Setelahnya ia berlari kecil, mendekat ke arahku dan diikuti kedua temannya. "Halo, Kak Key. Tadi aku teriak berkali-kali loh, nggak dengar ya?"
"Aduh, maaf, Tha, tadi dengar cuma aku kira bukan manggil aku." Aku berdiri tidak nyaman, merasa bersalah sendiri.
"Nggak apa-apa kok." Ia tetap menampilkan senyum dan wajah cerianya. "Oh, iya, kenalin kedua temanku, Kak."
"Halo, Kak. Aku Clara. Salam kenal."
"Kalau aku Yeni, Kak. Salam kenal juga."
Aku tersenyum ramah dan bergantian bersalaman dengan keduanya. Tak lupa aku juga menyebutkan nama panggilanku. Clara dan Yeni imut dan baik. Sama kayak Litha.
"Kalian duluan deh. Tunggu di kantin saja. Aku mau ngobrol sama Kak Key sambil jalan pelan."
"Ya, sudah. Kami duluan, Lit."
"Jangan lupa pesankan aku makanan kayak kemarin yaaaa!" lanjut Litha agak setengah berteriak.
"Iyaaa."
"Minumnya yang banyak es batunya loh!" pekik Litha sekali lagi.
Clara dan Yeni yang kebetulan sudah agak jauh di depan sontak berbalik sambil melotot geram. "Iyaaa, bawel!"
Kontan Litha tertawa terpingkal-pingkal. Aku pun ikut tertawa melihat tingkah mereka bertiga. Lucu juga.
"Yuk, kita lanjut jalan, Kak." Aku mengangguk pelan. "Oh, ya, Kak, semalam Kak Key kan ketiduran, mau aku bangunin buat makan malam tapi nggak jadi, soalnya Kak Darrel nggak bolehin sih."
"Semalam?" Dahiku mengernyit, lalu menoleh ke arah Litha. "Maksudnya?"
"Itu tuh, saat Kak Key ketiduran sambil baca novel."
"Iya. Lantas?"
"Kak Darrel bilang Kak Key kelihatannya capek banget, dia kasih saran makanannya mending ditaruh di meja depannya perpus. Aku pikir benar juga, makanya aku taruh di sana agar waktu Kak Key bangun bisa langsung makan."
Oh, gitu rupanya.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Tapi ... sebentar! Kuingat-ingat kembali perkataan Litha. Larangan dan saran dari Darrel, bukankah seperti bentuk sebuah kekhawatiran dan kepedulian? Apakah itu berarti Darrel sudah mulai perhatian padaku?
Ya, mungkin. Diam-diam aku tersenyum sembari kutundukkan kepalaku.
"Kak Key kok diam? Kak Key marah, ya?"
Segera kupalingkan wajahku kepada Litha. "Nggak kok, aku nggak marah. Harusnya aku malah bilang makasih sama kalian karena sudah seperhatian itu sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
HorrorSelama dua tahun aku hanya mampu mengagumi Darrel dari jarak jauh, mungkin kemudian Tuhan merasa kasihan padaku, hingga memberi kesempatan untukku agar lebih dekat lagi dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang tak terduga, aku bisa serumah dengannya...