Semalam aku berhasil meyakinkan bunda dan ayah. Kuceritakan semua tentang tempat kos yang kudapat. Selain biaya murah, lokasi tak seberapa jauh dengan sekolah, sampai pada siapa teman sekamarku nanti, minus soal rumah tersebut.
Maksudku ... aku tidak menerangkan apa pun mengenai seberapa besar rumah itu dan apa yang pernah kulihat.
Memang, tujuanku mengambil foto untuk kuperlihatkan pada bunda ayah, namun jika penampakan pada gambar sangat menyeramkan, nggak mungkin kan aku nekat menunjukkannya?
Aku takut bukannya melepasku, mereka justru akan melarangku dan tetap membawaku pulang ke desa. Dengan kata lain, aku harus tetap keluar dari sekolah.
Sesungguhnya semalam juga kukatakan pada bunda ayah, bahwa akan sulit pindah sekolah jika memasuki kelas XII sepertiku, apalagi sekarang sudah menginjak semester 2. Mereka saling berpandangan dan terlihat seakan baru menyadari apa arti ucapanku. Sama-sama membelalak kaget.
Aku ingin tertawa tapi tidak kulakukan. Mengingat perusahaan kami baru dilanda kebangkrutan, wajar saja mereka tak sempat memikirkan itu sebelumnya.
Tapi yang jadi permasalahan sekarang sudah berbeda. Kini aku bukan hanya diserang rasa gelisah, namun juga ketakutan yang melanda.
Sudah dua puluh menit yang lalu—sejak kami bertiga masuk ke dalam taksi—jemari tangan dan kakiku gemetar tak mau berhenti. Meski terlihat samar, akan tetapi aku bisa merasakan dengan jelas.
Tatkala bunda ayah masih sibuk bercerita dan mengenang tempat-tempat indah di Surabaya, aku malah berpura-pura menutup mataku sambil bersandar dan melipat kedua tanganku di depan dada. Kukepalkan tanganku kuat berharap gemetarnya hilang, ternyata juga percuma.
Pikiranku kembali berputar pada penglihatanku kemarin di rumah itu. Wanita dengan wajah yang begitu menakutkan dan penuh dengan darah. Seakan sengaja menatapku dan menantangku untuk masuk ke dalamnya.
Bibirku ikut bergetar, gigiku pun gemeletuk saling bergesek. Ketakutan nyata dan imajinasi melebur menjadi satu bagaikan bayang-bayang berlarian mengejarku.
Apakah nanti ayah bunda akan melihat hal sama sepertiku? Bagaimana reaksi mereka setelahnya?
Dari segala rasa takutku, aku rasa membayangkan reaksi bunda ayah yang paling menerkamku. Ketakutan imajinasiku menang. Ia membelengguku pada sebuah tebakan-tebakan menjerumuskan.
Selepas melihat tempat kos nanti, aku takut bunda ayah akan mencegahku untuk tinggal dan mengajakku mencari kos lain. Bukan soal mencari kos yang aku risaukan, tetapi bisa jadi mereka berdua akan batal pulang ke kampung dan berbalik menemaniku menetap di Surabaya, walaupun hanya di sebuah kos yang sempit.
Aku sedih. Aku merasa bersalah jika semua itu terjadi. Aku tahu ayah pulang ke desa berencana menggarap sawah yang masih tersisa satu petak. Selama ini ayah mengambil jasa para petani untuk mengerjakan sawah kami atas dasar bagi hasil, namun kali ini katanya akan dikerjakan sendiri agar hasilnya tidak terbagi. Ayah juga sudah memikirkan beberapa usaha kecil-kecilan di sana dan berjanji jika semua uang sudah terkumpul, beliau akan kembali ke Surabaya dan membangun perusahaan kami lagi dari nol.
Ayah dari dulu memang tak kenal kata menyerah. Ada saja ide-ide baru yang bisa menumbuhkan semangatnya. Maka dari itu, aku tidak mau menjadi perusak rencana ayah jika sampai mereka batal pulang ke desa. Aku tidak mau menjadi penghambat bagi keluargaku.
"Key, bangun. Sudah sampai." Suara itu menyentakku dan membuatku kontan membuka mata. "Itu benar rumahnya? Nomor 123 kan?" tanya bunda.
Kepalaku mengangguk kaku dan spontan bersikap waspada. Aku turun mengikuti bunda, sedangkan ayah mengambil barangku di bagasi mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
HorrorSelama dua tahun aku hanya mampu mengagumi Darrel dari jarak jauh, mungkin kemudian Tuhan merasa kasihan padaku, hingga memberi kesempatan untukku agar lebih dekat lagi dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang tak terduga, aku bisa serumah dengannya...