-keseharian Anisa-

87.2K 5.9K 176
                                    

Setelah sholat isya, semua santri bersiap untuk ngaji diaula pondok putri. Setiap malam, tepatnya ba'da isya, jadwal ngaji diaula pondok putri. Sampai jam sembilan malam. Kecuali malam selasa dan malam jum'at.

Malam selasa jadwalnya belajar qiro' diaula pondok putra. Sedangkan malam jum'at marhabanan diaula pondok putra juga. Semua santri disatukan.

"Assalamualaikum warahmatullah..."

Semua santri putri langsung menunduk, saat lelaki berperawakan tinggi, dengan jubah putih dan kopiah putihnya adalah ciri khas dirinya. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab semua santri putri dengan kompak.

Setelah semua santri putra datang, dan duduk dengan rapi, lelaki itu membuka kitab yang akan diaji malam ini.
"Bagian halaman berapa er?, lupa. Maklum ya, udah tua."

Semua santri dibuat tersenyum oleh candaan lelaki itu. Barisan santri putra dan santri putri tidak terhalang apapun. Namun barisannya terbilang cukup jauh. Barisan santri putra berjarak sepuluh langkah dari barisan santri putri. Tapi dengan begitu, bukan berarti mereka menyempatkan waktu itu untuk memandang lawan jenis mereka. Penglihatan lelaki yang sedang duduk dikursi dihadapan mereka itu sangat tajam. Kalau ada yang kelihatan lirik-lirik, santri itu akan disuruh berdiri, sampai ngaji selesai.

Erna membuka kitabnya, begitupun dengan santri lain. "Halaman 27 bah, bagian pasal yang bawah." Jawab Erna dengan sopan.

Lelaki yang duduk dihadapan mereka itu kyai mereka, bernama Raihan Alfarizki. Suami dari umi Talia. Pemilik pesantren Al-hidayah. Dan dikenal dengan sebutan abah.

"Bismillahirrohmanirrohim. Faslun, utawi iki iku la fasal sewiji.........."

Semua santri pokus melugod kitab mereka masing-masing. Walaupun bisa dibilang abah Raihan itu cepet kalau mengajar, namun mereka langsung mengerti, dan mereka bisa melugod kitab mereka dengan penuh, tanpa ada yang terlewat. Karena abah Raihan, akan mengulanginya lagi sampai tiga kali. Beliau seperti itu, karena takut ada kitab santrinya yang tak terlugod, dan itu yang akan membuat mereka tidak paham.

"Ada yang mau ditanyakan?, tentang fasal ini, atau yang lain juga boleh, silahkan," tanya abah Raihan pada santri-santrinya setelah selesai satu fasal. Fasal kali ini lumayan panjang, jadi cukup satu fasal saja. Kalau pendek, pasti akan dua fasal.

Abah Raihan menoleh pada barisan santri putri. "Sok, teteh santri dulu. Ada yang nanya gak?, teh Erna?," tanyanya menatap Erna yang duduk dibarisan depan. Erna adalah santri kepercayaan istrinya, jadi abah Raihan sangat mengenal Erna.

"Gak ada, bah,"jawab Erna dengan sopan.

Abah Raihan mengangguk. Lalu beralih menatap santri yang lain.
"Teteh teteh yang lain, sok. Ada yang mau nanya gak?"

Erna melirik temannya yang duduk disampingnya. "Nit, ada pertanyaan gak?" Bisik Erna

"Enggak er. Aku udah nanya kemarin. Belum ada pertanyaan lagi," jawab teman Erna bernama Nita.

"Ada gak?," tanya abah Raihan lagi.

"Gak ada, bah," jawab Erna mewakili.

"Teteh-tetehnya gak punya pertanyaan. Sok, akang-akangnya barangkali ada yang mau nanya." Ujar abah Raihan menatap kebarisan santri putra.

Salah satu dari mereka ada yang mengangkat tangannya. Abah Raihan mengangguk. "Silahkan."

"Bah, saya santri baru, saya kelas 10. Saya pernah nyantri waktu SMP, tapi hanya satu tahun. Saya ini orangnya nakal. Kadang saya selalu mengeluh lelah dalam mencari ilmu. Saya masuk kesini, karena ingin lebih mendalami ajaran agama. Tolong kasih wejangan buat saya bah," ucap laki-laki itu.

Dikhitbah Anak Kyai ||Telah Terbit||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang