Lisa masih berbaring, tubuhnya lemas sampai menggerakkan jari terangkat saja sulit. Kelopak matanya pelan-pelan diangkat, satu hal yang Lisa lihat sebatas keburaman diruangan serba abu-abu, Lisa tidak ingat memiliki satu kamar berwarna gelap seperti ini di kediaman miliknya.Ralat, tepatnya tidak ada kamar berwarna abu-abu gelap dikediaman Lisa yang didominasi warna serba putih.
Kepalanya diserang pening, Lisa memejamkan mata menahan sakit sampai terlihat gelombang kerutan dikeningnya. Sudah jelas kalau percobaan bunuh dirinya yang terakhir kali juga gagal, tetapi Lisa tidak mencium aroma obat-obatan jadi kemungkinan ini bukan rumah sakit.
Dimana? Itu yang menjadi pertanyaan Lisa mengenai keberadaannya, kenapa bisa penglihatannya seburam ini? Sudah mengerjap-ngerjap pun tak terjadi perubahan signifikan dan.. kenapa kakinya sulit digerakan, seluruh tubuhnya lemas bagai tak memiliki tulang.
"Berapa lama aku tidur?" Lisa meneguk ludah, rasa sakit dilehernya sudah tak terasa tetapi saat mencoba membuka bibir untuk bicara—suaranya masih sangat serak.
Lisa mengatupkan kembali bibirnya, menggulir manik hazelnya menyisir apa saja yang ada diruangan ini walau penglihatannya tidak jelas. Pandangan matanya berhenti disuatu tempat, berada tepat disamping ranjangnya. Ada siluet berwarna hitam didekat pinggiran ranjangnya.
"M-malaikat maut? Aku.. aku sekarat?" Lisa membatin senang, bibir pucatnya melengkungkan senyum tipis samar-samar karena mengira upayanya berhasil.
"Aku.. akhirnya.. akhirnya aku dijemput mati!"
"Puji kepada Tuhan!"
"Puji dewa neraka!
Sekuat tenaga Lisa memusatkan energinya pada tangan sebelah kanan, mengangkatnya pelan-pelan. Sulit sekali, Lisa mengubah strategi dengan menggeser tangannya menyentuh siluet yang hitam-hitam itu.
Deg!
"Rambut?" Lisa mengerjap, melirik ke bawah guna melihat apa yang hitam-hitam itu. Rasa penasaran memberinya cukup kekuatan untuk mengangkat tangan dan meletakkannya dirambut hitam-hitam tersebut. "Malaikat maut bisa disentuh?"
"Tidak, jangan-jangan.."
Lisa meremasnya, menjambaknya kuat dan ringisan seseorang terdengar bersama derit kursi. Dia bukan malaikat maut dari neraka, tapi manusia. Oh sial, Lisa kecewa. Senyumannya pudar kala itu juga, ia mulai bisa melihat siluet itu bergerak dan mengangkat kepala sampai terlihat wajahnya datar tanpa muka dari sudut pandang mata Lisa.
"Hari ke- 12, sudah kuduga kau--"
Ngingggg~
Berdenging, telinga Lisa rasanya sakit. Suara pria itu menyakiti telinganya, membawa tangan kanan Lisa menutup telinga dan menundukkan kepala supaya tidak mendengar ucapan pria yang kini memanggil -manggil dokter.
Pria berpakaian serba putih itu datang memasuki ruangan bersama alat-alatnya, cukup terkejut mendapati pasien yang dirawatnya berhari-hari akhirnya terbangun dari koma sementaranya.
"Dokter, apa yang terjadi?"
Dr. Hana menoleh pada pria yang mengajaknya bicara, memakaikan stestokop ditelinga dan memeriksa detak jantung dada Lisa. "Detak jantungnya bagus, tidak ada pelemahan. Tolong bantu buka mulutnya."
"Ah, Ne!" Pria itu menyahut, dengan sigap tetapi penuh kehati-hatian ia menekan masing-masing pipi Lisa dengan ibu jari dan telunjuknya yang menangkup rahang gadis itu.
Dr. Hana menyalakan senter kecil, memeriksa bagian dalam tenggorokkan Lisa sehabis cidera waktu itu. "Cukup bagus ya, lukanya sudah sembuh total, jahitannya juga kering. Kemungkinan 2-5 hari ke depan bisa kembali bicara"
KAMU SEDANG MEMBACA
the lady wants to die
Fanfiction[M]Lisa mengambil peran saudara tiri jahat dan menyiksa si tokoh Cinderella sekedar untuk kesenangan belaka. Lisa tidak pernah menyangka kalau sosok Cinderella, yakni adik tirinya yang bernama Alysa dinikahi oleh Mafia kejam dengan kebucinan tingkat...