delapan

13 4 1
                                    

Sekalinya ngebentak, damage nya gak ngotak. Takotak.
______

"Ya sengaja aku typo ngomongnya, biar kamu benerin" , ujarnya.

"Kamu juga nyebelin! Orang aku lagi curhat juga!", kesal ku .

"Iyaaa aku denger kok Zakiyah! Aku denger!. Mau aku ulang darimana curhatan kamu? Dari awal sampai akhir? tengah-tengah? Sepertiga? Seperempat? At-".

"STOP!". potong ku cepat .

Aliya azzahra, namanya. Cerewet nya gak kira-kira. Dia itu anak pondok, tapi kadang-kadang juga masih bobrok.  paling-paling pulang ke rumah ya waktu lebaran gini. Atau kalau tidak ya pas ada acara keluarga.

"jadi, gimana solusinya?", tanya ku.

Tadi, aku menceritakan perihal hubunganku pada bang Ali.  Gimana sakitnya hati ini di abaikan. Dimana bang Ali menolak untuk bersalaman. Tapi, Aliya malah sibuk dengan benda pipih di tangan nya. Tidak pernah di lepas, seakan mau di rampas oleh petugas.

Belum sempat menjawab, ketukan pintu dari luar membuat aku dan Aliya berpandangan. Ternyata bunda pelakunya. Menyuruh aku dan Aliya untuk makan siang bersama.

Sampai di meja makan, aku dan Aliya mengambil nasi secukupnya, tentu dengan lauk pauk yang tersedia. Rumah Aliya ini tidak terlalu jauh dari rumah ku. Jadi, kalau mau bertemu tidak memakan banyak waktu. Juga tidak akan ada alasan ini itu.

Bunda masih sibuk di dapur entah membuat apa lagi. Abang di depan tv menonton anime kesukaan nya. Ayah sedang keluar rumah untuk menjemput kak Ifah, yang katanya ada suatu urusan. Jadi, hanya aku dan Aliya yang makan.

Aliya bercerita tentang banyak hal tentang kehidupan nya di pondok pesantren. Mulai dari hal yang membuatnya bahagia, sedih, rindu, sampai ke cinta-cintaan nya. Katanya dia mengangumi salah satu seorang putra dari kiyai pemilik pondok tersebut.

Dari segi akhlak nya, suara azan nya, kecerdasan nya, ke-alim-annya , dan berbagai alasan lainnya. Aku yang mendengar nya pun ikut merasa bahagia.Sampai cerita tentang salah satu santri yang katanya menyatakan cinta pada Aliya lewat surat yang di titipkan ke salah satu santriwati.

Karena ketahuan oleh salah satu petugas keamanan pondok, si santri yang mengirimkan surat tadi di hukum katanya. Kepalanya di botak i, dan itu membuat Aliya tertawa lepas. Saking lepas nya,  sampai dia  tidak sadar menggebrak meja makan yang kami tempati.

Mungkin, karena ayah tadi bilang, 'anggap saja rumah sendiri'. Makanya Aliya tidak ada rasa sungkan sama sekali. Atau lebih tepatnya terbawa suasana.

"HAHAHA YA ALLAH, DEMI APA AKU NGAKAK".  tawanya masih belum juga berhenti. Dan tertawa nya itu menular padaku. Aku pun ikut tertawa sama keras nya.

"WOI BERISIK!". Aku melihat ke arah Abang yang ternyata meneriaki kami.

"WOI DIAMM!". Aliya ikut teriak karena latahnya.

Aliya menatap ke arah ku, tersadar dia langsung menegakkan badannya yang tadi sibuk tertawa. Menoleh ke belakang, dimana bang Ali menatap nya dengan tajam . Aku hanya terdiam menyaksikan.

"Ehehe, bang Al. Maaf bang, kelepasan", ringisnya dengan jari yang membentuk peace.

"Apasih bang?", Bunda ikut menyahut.

"Ganggu Bun ketawa nya", keluh bang Ali.

"Namanya juga lagi bahagia". Bang Ali kembali fokus ke tv.

Aliya menatapku lagi, aku menggeleng sambil berkata pelan, "gak papa". Supaya dia tidak merasa bersalah dan Canggung setelah nya.

"Untung bukan ayah yang kamu bentak", lirihku sambil tertawa kecil. Aliya malah menutup wajahnya malu. Kemudian kami melanjutkan makan dalam diam.

Beberapa saat kemudian, ada suara motor berhenti di depan rumah. Mungkin itu ayah dan Kak Ifah yang datang.

"ALIYA AZZAHRAAA!!!".

Lah eh, kok ngamuk?. Kenapa? Ada apa? . Batinku bertanya.

he is my brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang