sepuluh

11 4 3
                                    

Memangnya sahabat itu harus selalu ada ya?.
____________

Malam hari di rumah Aliya, dia mengajakku untuk naik ke roof top rumahnya. Di lantai dua ini, kami berbaring sambil memandangi langit malam. Sunyi sepi, di temani kopi  buatan Umi, sedikit menghangatkan udara dingin malam ini. Sembari bercerita tentang masa kecil kami dulu.

"Kan kamu yang suka nanya pr sama aku", ujar ku pelan.

"Soalnya kan aku jarang masuk sekolah".

"Karena sibuk liburan!",tidak sengaja kami menjawab secara bersamaan.

Yang tadinya menatap lurus ke langit, kami sama-sama menoleh, kemudian tertawa bersama. Hal-hal sederhana yang membuat kami begitu bahagia.

"Minum dulu kopinya, ntar keburu dingin lagi!". Perintahnya sambil beranjak duduk.

Aku mengikuti instruksi darinya. Ikut bangun dari tempat berbaring tadi, dan menyesap kopi hitam. Hem, sepertinya malam ini aku dan aliya akan begadang.

"O iya, Za. Tentang respon aku yang tadi cuma bilang 'O' sama kamu, bukan berarti aku gak peduli. Tapi kan lagi banyak orang. Walaupun gak satu ruangan, tetep aja aku sungkan". Ucap nya tiba-tiba membahas hal yang membuat ku kesal tadi.

Aku mengangguk, "iya gak papa".

"Emang kamu gak pernah lagi bercandaan kayak gitu sama bang Ali?".

Aku tersenyum kecut mendengar nya, lalu menggeleng pelan. Dengan pandangan mata yang menatap lurus ke depan. Menikmati belaian angin yang menyapu wajahku.

"Husnuzan aja Za, mungkin bang Ali ngerasa canggung sama kamu".

"Why? Kenapa harus canggung sama aku, sedangkan sama kak Ifah enggak?".

"Yaa kali aja bang Ali lebih nyaman sama kak Ifah?".

Aku memejamkan mata sebentar mendengar jawabannya. Kemudian menenggelamkan kepalaku di atas kedua lutut ku. Aku bingung harus bagaimana.

"Za, jangan nangis dong! Sekian lama nya tak jumpa, masak malah air mata yang kau suguhkan?!", ujarnya penuh drama.

Aku mendongak menatap ke arahnya, "Sakit banget Aliya rasanya", lirihku.

Dia merentangkan kedua tangannya, "sini peluk".

Aku pun langsung masuk ke dalam dekapannya. Hangat, nyaman, serta memenangkan. Aku tersedu, meluapkan segala rasa yang aku pendam selama ini. Tidak ada yang pernah mendengar kan. Ayah dan bunda selalu mengelak dan memberi alasan yang aku sendiri tidak bisa menerimanya.

"Setiap hari aku liat bang Ali sama kak Ifah dipenuhi canda tawa, sementara aku gak pernah di anggap ada, hati aku sakit! Aku gak terima! Tapi aku gak bisa apa-apa!".

Aliya mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan. "Za, aku yakin gak ada saudara yang benci sama saudaranya sendiri".

"Setiap aku berusaha untuk deketin bang Al, dia juga berusaha untuk jauhin aku. Salah aku apa Aliya? Aku punya dosa apa sama dia?".

Aliya diam tidak menjawab. Yang aku dengar justru isak tangis dari nya serta pelukannya semakin erat. Seakan-akan dia juga ikut merasakan sakit yang aku rasakan.

Aku melepaskan pelukannya, menatap ke arahnya yang menunduk. Rupanya dia benar-benar ikut menangis. Oh Tuhan, aku sangat menyayangi sahabat ku ini.

"Aliya? Aku ini nakal ya?", lirihku.
Aliya  menggeleng cepat, seakan tidak terima kalau aku bertanya seperti itu.

Bukan nya menjawab pertanyaan ku tadi, Aliya malah kembali memeluk ku dalam. Membiarkan kami saling diam dalam tangisan.

Setelah beberapa saat aku dan Aliya sama-sama tenang. Kami menghela napas panjang, lega rasanya setelah menangis sepuasnya bersama.

"Za. Aku mau kasih saran mau gak?".

"Apa?".

"Gin-".

Ucapannya terhenti ketika nada dering telepon genggam ku terdengar. Aku mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon malam-malam begini. Begitu tau itu bang Ali, aku langsung menyentuh icon berwarna hijau yang tertera di layar hp .

"PULANG! REDZA KEJANG-KEJANG!".

APA?

he is my brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang