Waktu makan siang yang berbarengan dengan waktu sholat dan jeda mata kuliah membuat suasana kampus nampak ramai. Di ujung salah satu koridor yang lengang, seorang gadis berjaket navy dengan ransel abu-abu di punggungnya beberapa kali menghela napas enggan. Tubuhnya ia sandarkan pada tembok, dengan kedua telapak tangan dimasukkan ke saku jaket. Matanya terfokus pada kerumunan mahasiswa di depan auditorium, jalur paling singkat menuju gerbang depan kampus.
Lima menit berlalu, dan gadis itu masih belum beranjak dari tempatnya. Jam digital yang bertengger di pergelangan tangan kirinya menujukkan pukul 12.07. Jam tangan hitam yang di dalam kacanya berhiaskan tulisan nama lengkap gadis itu, Deresia.
Koridor yang tadinya cukup sepi mulai berisik dengan lalu-lalang mahasiswa. Dere menggoyang-goyangkan ujung kakinya pelan untuk mengusir rasa bosan. Gadis itu menghela napas, lagi. Matanya mendelik malas sebab di depan auditorium, kerumunan itu belum juga bubar. Mau tak mau, ia memutuskan untuk beranjak daripada ia hanya akan menghabiskan waktunya di koridor kampus. Dere sedikit menundukkan kepala lalu mulai berjalan melangkahkan kakinya dan melewati sekumpulan mahasiswa itu. Langkahnya panjang-panjang dan sesekali dipercepat.
Tiga meter jarak langkah Dere dari auditorium membuat suara orang-orang dalam kerumunan itu makin terdengar jelas. Dari penangkapan indra pendengarannya, Dere menerka obrolan mereka berkaitan dengan acara musikal kampus yang akan digelar dua bulan lagi. Obrolan yang sesekali diiringi tawa itu membuat mereka tak sempat memperhatikan orang-orang yang lewat. Termasuk seorang mahasiswa yang baru saja melewati mereka dengan kesan menghindar yang terlalu kentara. Kurang lebih tiga menit setelah aksi berjalan cepat sambil menunduk itu, sampailah Dere di pintu gerbang kampus bagian depan.
"Mari, Pak," sapanya pada seorang satpam muda yang hanya dibalas dengan anggukan.
Setelah keluar dari area kampus, Dere baru bisa bernapas lega. Tak butuh waktu lama bagi Dere untuk sampai di indekosnya. Bangunan lantai dua bercat krem dengan pagar tinggi batako di sisi kanan, kiri, dan belakangnya.
Sesampainya di kamar indekos, Dere langsung merebahkan tubuhnya ke kasur tipis yang bersentuhan langsung dengan lantai, tanpa dipan. Kamar berukuran minimalis itu selalu menjadi tujuan utamanya sepulang kuliah. Ia tak seperti kebanyakan mahasiswa yang menyempatkan ngopi-ngopi cantik di kafe-kafe estetik. Gadis itu memang tak begitu mengikuti gaya anak muda, dan ia sendiri pun menyadari hal itu.
Sembari tiduran dan menikmati sepoi kipas angin yang terletak di pojok kamarnya, Dere tersenyum sendiri mengingat kelakuannya. Menghindari seseorang diantara kerumunan mahasiswa tadi. Gadis itu menggelengkan kepala berulang kali. Senyum tipis masih bertengger di bibirnya.
"Dasar, gila! Ngapain senyum-senyum coba," gerutu Dere ketika menyadarinya beberapa detik kemudian.
***
Jumlah kata=414
KAMU SEDANG MEMBACA
Deresia
General FictionMimpi dan realita. Dua hal yang kadang terasa selalu berlawanan. Ternyata benar, manusia hanya bisa berencana. Terjadi tidaknya hanya Tuhan yang berkehendak penuh atas hal itu. Belajar "tidak apa-apa" atas segala yang menimpa hidupnya, Deresia memul...