Ruang kelas yang diberi nama R105 itu didominasi dengan suasana lengang. Di meja depan, sudah duduk dengan tegap seorang dosen dengan kemeja hitam yang lengannya digulung sebatas siku. Di hadapannya, empat puluh tujuh mahasiswa tengah diam seribu bahasa. Semua mata fokus memperhatikan ke depan. Tidak ada yang berbisik, tidak ada yang berisik. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa, bahwa ruang kelas ber-AC pun akan terasa panas jika sedang diajar dosen yang satu ini.
"Selamat pagi," sapa Darma singkat, memulai kelasnya.
"Pagi, Pak," jawab seisi kelas dengan serempak.
"Ada yang berani menjelaskan resume materi minggu lalu?" tanyanya dengan muka sangsi, meragukan kemampuan dan keberanian puluhan kepala di hadapannya.
Dalam hati, Dere mengutuk ekspresi menyebalkan itu.
"Saya, Pak."
Itu suara Ardi. Mahasiswa dengan IP semester paling tinggi di kelasnya. Dere menghela napas lega, setidaknya ada perwakilan yang menyelamatkan martabat kelasnya di hadapan Darma.
Kelas berlangsung selama dua jam. Tentu saja diiringi dengan suara tegas Darma saat menjelaskan materi, gelagapan mahasiswa yang diberi pertanyaan mendadak, dan sindiran-sindiran khas ala dosen killer yang andai bisa ingin Dere perban saja mulutnya. Sayangnya, sindiran yang lebih cocok disebut sarkasme itu sudah melekat erat dengan pribadi Darma ketika mengajar. Lebih tepatnya ketika mahasiswa yang diajar punya tingkat pemahaman yang lambat.
Hari ini hanya ada satu mata kuliah. Harusnya Dere bisa pulang lebih cepat dan punya waktu untuk sejenak tidur siang kalau saja ini bukan kelas Darma. Ya, dosen itu tidak pernah absen menyelipkan tugas di akhir mengajarnya. Memberi tugas yang tidak bisa dibilang sedikit dengan deadline maksimal tiga hari seolah sudah menjadi rutinitas Darma di kelasnya.
***
Sebelum pulang, Dere singgah terlebih dahulu ke perpustakaan. Setelah melakukan scan barcode sebagai kunci masuk perpustakaan bagi mahasiswa, Dere menuju rak-rak tinggi dengan tulisan FMIPA di atasnya. Matanya menelusuri ratusan buku yang ada di hadapannya, mencari bahan untuk mengerjakan tugas dari Darma.
"Deresia?"
Deg! Jantungnya berpacu cepat seiring dengan bulu tengkuknya merasakan seseorang yang memanggilnya barusan berdiri tak jauh di belakangnya. Seseorang yang bisa ia kenal hanya dengan mendengar suaranya.
Dia? Memanggilku? Kenapa? Ada apa? Aku harus gimana?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalanya.
***
Jumlah kata=347
KAMU SEDANG MEMBACA
Deresia
General FictionMimpi dan realita. Dua hal yang kadang terasa selalu berlawanan. Ternyata benar, manusia hanya bisa berencana. Terjadi tidaknya hanya Tuhan yang berkehendak penuh atas hal itu. Belajar "tidak apa-apa" atas segala yang menimpa hidupnya, Deresia memul...