"Deresia?"
Suara panggilan itu terdengar untuk kedua kalinya. Entah sudah berapa lama jaraknya dari panggilan pertama, Dere tidak menyadari itu.
Dere menelan ludah. Rasa rindu yang sudah lama berusaha ia kubur dalam tiba-tiba menyeruak kembali seenaknya. Sampai kapan? Sampai kapan akan seperti ini?
"Kamu dengar aku memanggilmu?"
Dere memutar badannya. Pelan, kepalanya terangkat, berhadapan dengan pemilik suara itu. Seorang laki-laki yang hari itu terlihat gagah dengan jas almamater melekat di tubuh tegapnya. Laki-laki yang selalu Dere hindari. Laki-laki yang entah kenapa sekarang justru menyapanya.
Mata mereka beradu. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Dua kepala dengan isinya masing-masing itu kini saling bertatapan. Habis sudah keberanian Dere di depan mata itu. Runtuh sudah segala pendirian yang ia bangun susah payah sejak lama.
Lima detik berlalu. Dere merasa lima detik bukanlah waktu yang sebentar. Saat-saat seperti ini selalu menjatuhkan Dere pada jurang kenangan yang pernah ia pendam begitu dalam. Lima detik terasa terlalu lama bagi Dere untuk menerjemahkan apa saja yang ingin disampaikan. Tidak boleh lebih lama lagi, begitu batin Dere menyadarkan dirinya.
Sebelum kalimat apapun sempat keluar dari mulut mereka, Dere melangkahkan kakinya. Meninggalkan ruang perpustakaan. Meninggalkan laki-laki yang kini menatap punggung gadis itu dengan pasrah, tanpa mencegah kepergiannya.
Dere masih sempat menganggukkan kepala singkat pada petugas perpustakaan yang berpapasan dengannya di pintu keluar.
Dere menghela napas lega begitu langkahnya sampai di luar perpustakaan. Ia sempat ingin menahan diri untuk pergi. Begitu banyak yang ingin Dere katakan. Begitu banyak perasaan dan pemikiran yang berperang. Namun, selalu ada satu suasana yang menyelimuti mereka. Suasana yang memperjelas batas antara keyakinan dan keraguan. Keheningan.
Sorot matanya masih saja memenuhi pikiran Dere bahkan ketika gadis itu sudah melewati gerbang kampus. Mata itu, mata yang pernah begitu dalam menyalurkan kehangatannya. Mata yang dengan ajaibnya bisa berbicara. Dan, semua cerita di balik mata itu pernah mengantarkan Dere pada satu perasaan. Perasaan aneh yang baru sekali seumur hidup menerpa hatinya. Ya, dimulai tiga tahun lalu. Dan, hari ini Dere kembali sadar. Bahkan sejak saat itu, Dere ternyata masih belum berhasil melenyapkannya.
***
Jumlah kata=339
KAMU SEDANG MEMBACA
Deresia
General FictionMimpi dan realita. Dua hal yang kadang terasa selalu berlawanan. Ternyata benar, manusia hanya bisa berencana. Terjadi tidaknya hanya Tuhan yang berkehendak penuh atas hal itu. Belajar "tidak apa-apa" atas segala yang menimpa hidupnya, Deresia memul...