Jam dinding yang terpasang tepat di atas rak-rak bagian peralatan mandi menunjukkan pukul 7 malam. Jam kerja toko berakhir dua jam lagi. Tepat jam 9 malam, Dere dan Karto akan pulang ke indekos masing-masing. Saat malam hari seperti ini, toko tidak seramai ketika masih siang. Di jam-jam inilah, karyawan toko biasa menyantap makan malam secara bergantian. Pintu dapur rumah Koh Aji selalu terbuka bagi dua karyawannya.
"Lauk seadanya, ya. Makan yang banyak, jangan sungkan," begitu pesan beliau setiap kali berpapasan di jam makan.
Kalimat "lauk seadanya" yang biasa disebut Koh Aji adalah "lauk mewah" bagi pekerja rantau seperti kedua karyawannya. Seperti malam ini, semangkuk sop ayam dan sepiring tempe goreng sudah tersaji di meja makan, lengkap dengan sambal terasinya.
Selain dua karyawan toko, Koh Aji juga mempekerjakan pembantu rumah tangga yang bertugas memasak dan membersihkan rumah. Wanita sepuh yang tinggal di belakang rumah Koh Aji itu sudah bekerja disana sejak pasangan China itu baru saja menikah.
Setelah perutnya terisi, Dere mendaratkan pinggulnya di kursi kasir, mengambil handphone di saku celananya lalu mulai berselancar ria.
"Instagram terosss..." sindir Karto yang baru kembali dari membuang sampah di belakang toko.
Dere hanya mendelik sebentar, lalu memilih untuk tidak menanggapinya. Bukannya Karto tidak tahu bahwa mahasiswa macam Dere tak mungkin aktif di dunia sosial media. Ia juga tahu, Dere sedang mengisi waktunya dengan membaca ulang catatan materi kuliah yang ia dapat siang tadi. Pria itu hanya senang menggodanya saja.
"De," panggil Karto pelan membuat fokus Dere teralihkan dari layar ponsel.
"Apa?"
"Kalo toko lagi sepi gini, kamu inget siapa?"
"Hah?"
Karto menunjukkan ekspresi gemas sendiri karena tanggapan Dere yang tidak menangkap maksud pertanyaannya.
"Hah heh hah heh," ledek Karto meniru Dere.
"Maksudnya gimana, Mas?"
"Siapa orang yang muncul di ingatan kamu kalo lagi sepi begini?" beber ulang pria itu dengan malas.
Karto kurang suka dengan panggilan "Mas" yang sesekali Dere tujukan padanya. Meski terpaut usia lima tahun, pria itu sudah mewanti-wanti Dere sejak awal mereka bertemu untuk memanggilnya cukup dengan sebutan nama saja. Namun, kadang kala Dere masih memanggilnya begitu. Terlebih ketika gadis itu sedang memperjelas sesuatu.
"Tiap detik ingat bapak di rumah, sih."
Jawaban yang keluar dari mulut Dere membuat gadis itu kehilangan selera melihat layar handphone lagi. Pikirannya menerka-nerka sedang apa ayahnya sekarang. Sudah makan malamkah? Lauknya apa? Atau sudah terlelap sebab siang tadi tenaganya diperas?
Satu yang pasti. Ia tahu ayahnya merindu, persis seperti dirinya.
***
Jumlah kata=399
KAMU SEDANG MEMBACA
Deresia
General FictionMimpi dan realita. Dua hal yang kadang terasa selalu berlawanan. Ternyata benar, manusia hanya bisa berencana. Terjadi tidaknya hanya Tuhan yang berkehendak penuh atas hal itu. Belajar "tidak apa-apa" atas segala yang menimpa hidupnya, Deresia memul...