2. Bantuan Dari Darvel

23.8K 2.8K 87
                                    


Tutup mulutmu rapat rapat kalau dirasa tak tau perihal apa apa.

Nara merebahkan kepalanya di meja. Kelas 11 IPS 3 sudah menjadi rumah keduanya dua tahun ini. Beruntung waktu itu kepala sekolah menerimanya meskipun kemampuan belajar Nara cuma pas-pas-an. Bermodalkan nekat dan bismillah akhirnya cewek itu bisa masuk ke sekolah favorit yang disebut sebut sebagai penghasil cogan.

"Nara,"

Cewek itu menoleh masih dengan kepala di meja dan rambut yang menutupi seluruh wajahnya.

"Itu, ada bu Sintia. Lo mau begitu terus?"

Nara bisa melihat bu Sintia menatapnya tajam. "Saya memperhatikan materi yang dijelaskan, bu."

"Baik. Ikuti pelajaran dari saya dengan baik Nara, jangan melamunkan hal diluar pelajaran saya." tegas bu Sintia yang membuat Nara mengangguk. Di belakang Nara bisa mendengar bisik bisik bahwa cewek yang memberitahunya tentang keberadaan bu Sintia sedang dimarahi.

Dia berkata, "Lo diem aja harusnya, ngapain sih sok peduli ngasih tau si sadako kalo bu Sintia udah dateng? Goblok."

"Sori, lo jangan begitu lah. Dia juga ga ngapa- ngapain lo kan? Jahat banget dah."

Nara hendak mengambil earpods miliknya namun bu Sintia terus melirik ke arahnya. Nara mengurungkan niat itu dan beralibi mengambil pulpen. Lalu mencoret coret buku dengan beberapa materi yang dia rasa penting untuk dicatat.

Pletak.

Sebuah bola kertas di lempar tepat ke kepala Nara kala bu Sintia sedang menulis di papan tulis. Seberapa kali pun Nara mengabaikan - bola bola kertas itu semakin menumpuk bagai sampah di sekitar tempat duduknya. Untungnya Nara duduk sendiri karena tidak ada yang mau berteman dengannya.

Nara sih tidak peduli, dia malah asik menggambar wajah Vanitas beserta anting jam waktu yang dipakainya di sketch book miliknya.

Bu Sintia berbalik, Nara pun berjongkok. Dia memunguti gumpalan kertas satu persatu tanpa banyak bicara. Meski tak lagi heran akan peristiwa itu bu Sintia tetap saja tak bisa membuka suara, bungkam seolah dia tak tahu apa apa ketika Nara keluar kelas untuk membuang sampahnya.

"Pemborosan." ujar Nara sembari membuang sampah serta menarik kertas yang tertempel di punggungnya. Tapi nihil. Meski tahu ada yang menempel itu tak bisa diambil.

Nara berdecak saat tahu itu ditempel dengan lem tetes dan merekat dengan sempurna sampai rambutnya jadi sekaku sapu ijuk.

"Saya ijin ke toilet, bu." pamit Nara di depan kelas pada bu Sintia yang menjawabnya dengan kata singkat, iya.

Nara juga tahu, beberapa orang itu diam-diam menahan tawa ketika melihatnya menderita seperti ini. Tak masalah, Nara bisa kabur ke perpustakaan untuk tidur - lagipula di mata bu Sintia dan dewan guru nilai ujian lah yang memegang peranan penting. Untuk perihal bullying dan mental health siswa - Nara pikir, mereka memang buta.

[] [] []

Kantin memang tempat favorit terlebih untuk kelima orang itu. Lokasi kantin sangatlah strategis karena berada di belakang semua ruang kelas dan berada tepat di depan perpustakaan yang bahkan pustakawannya jarang keluar kalau tidak penting.

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang