Nara berangkat sekolah seperti biasanya. Bedanya kali ini ia mengenakan headphone besar yang membuatnya terlihat menarik dari sebelumnya karena telah berani menggunakan sesuatu mencolok. Hal ini dibuktikan dengan tatapan mereka yang sedikit melunak dan terkesan tidak menghakimi padanya yang baru menginjakkan kaki di koridor.Nara melangkahkan kakinya menuju kelas seiring dengan musik yang mengalun berisik di telinga. Ia mendongak, irisnya berkedip lambat disertai decakan pelan.
Rupanya bukan karena headphone barunya namun, karena kehadiran Darvel yang juga baru datang dari arah berlawanan. Jelas, tatapan siapapun jadi melunak dan tidak menghakimi karena kehadiran mereka.
“Selamat pagi, Nara.” Sapa Arash dengan senyuman yang hangat.
Nara tidak mendengarnya. Cewek itu sibuk mengulum bibir dan bersenandung lirih. Ia tampak acuh pada sapaan Arash.
“Kebanyakan gaya.” Ujar Regaza. Dalam sekali tangkap, headphone Nara berpindah kepemilikan. “Sekarang udah bisa denger?”
“Udah.”
Regaza bisa mendengar betapa kencang musik yang didengarkan oleh Nara bahkan setelah headphone tersebut dilepaskan. “Cih, pantesan lo ga denger apa apa.”
“Tadi Arash bilang selamat pagi, Nara.” Kata Aten kalem.
“Oh,” Nara melirik Arash yang tersenyum tipis padanya. “Selamat pagi.”
“Gede banget tuh headphone lo.” Jeda sebentar, Arash pun bertanya. “Baru beli?”
Nara mengangguk. Ia merogoh saku dan mengambil ponsel—mematikan lagu yang masih terputar. “Kenapa berhenti disini?”
“Gara gara ada lo disini.” Jawab Belvan lugas.
“Kalau begitu gue ke kelas sekarang.” Nara pun melangkahkan kakinya melewati anak Darvel, tetapi Regaza menarik ranselnya dari belakang dan menahan langkahnya.
“Headphone lo ketinggalan. Males banget gue bawa barang lo.” Kata Regaza.
“Kotor. Kalau belum di bersihkan jangan di kembalikan, gamau.” Sahut Nara datar. Bahkan cewek itu mengigit bibirnya tanpa sadar supaya tidak marah karena Regaza seenaknya menyentuh barang miliknya padahal Nara sudah menyemprotkan alkohol berkali kali.
“Bawa Reg.” Titah Ceilo.
Regaza berdecak kemudian menenteng headphone Nara sembari berjalan dengan langkah dihentak kesal. Tidak mampu mendebat Ceilo yang menitahnya.
Nara pun menuju kelasnya meninggalkan Darvel karena kelas mereka berbeda arah.
[] [] []
Belvan menarik dasi yang terasa mencekik lehernya, ia melirik ujung dasi berlambangkan sekolahnya itu kemudian berpikir untuk melepaskannya saja daripada membuatnya kerepotan dan gerah.
“Belvan, ayo masuk sebentar lagi jam pelajaran dimulai.”
Belvan menghela napas pelan kemudian memilih menuruti ucapan gurunya. Baru menginjakkan kaki masuk seisi kelas—terutama para siswi langsung heboh serta memandangnya dengan tatapan terkejut.
“Ngeliat apaan lo semua?” Tanya Belvan dingin.
Suara tepuk tangan pun terdengar. Kali ini bu Sintia tersenyum sembari berkata. “Silakan duduk di kursimu, Belvan. Dan semuanya harap tenang, kita mulai belajar sekarang.”
Belvan pun berjalan lurus ke arah kursinya. Sudah jelas bagian belakang di pojok jendela dimana tempat tersebut bukan hanya nyaman namun bisa membuatnya tidak terlihat ketika sedang tidur di sepanjang pelajaran berlangsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Privileges
Teen FictionAlara Innara itu anti sosial. Makan, tidur dan kuota internet membuatnya tetap hidup meskipun dunia memandangnya sebelah mata. Namun secara tidak langsung hal tersebut menarik perhatian Ceilo Alastair - si nomor satu, Ketua geng Darvel. Seperti air...