18. Darvel contact

7.6K 788 60
                                    


Almost two month, thank you for always stay here! I hope you enjoy this chapter <3

Sepulang sekolah urusan Nara belum selesai. Dia masih harus berhadapan dengan bu Sintia. Ia melangkahkan kaki menuju ruangan guru dan menemukan guru wanita itu sudah duduk menunggunya.

“Selamat siang.” Ucap Nara menyapa sebagai bentuk kesopanan.

“Selamat siang, silakan duduk.”

“Mohon maaf, saya akan berdiri saja.”

Bu Sintia meliriknya sekilas kemudian menghela napas panjang. “Ya, tidak masalah.” Sahutnya. “Kenapa seisi kelas selalu ribut apabila ada kamu, Nara?”

“Saya tidak tahu.”

“Semua kasus tentang keributan di kelas, di luar kelas melibatkan kamu. Ini sudah kesekian kalinya kamu berada disini dengan kasus yang sama.”

Nara terdiam. Jelas bukan karena dia tidak punya jawaban namun karena wanita di hadapannya ini justru menutup mata akan kejadian yang sebenarnya.

“Jangan karena kamu sebatang kara kamu jadi bebas membuat keributan karena tau saya cuma akan menegur kamu begini ya.” Bu Sintia menggelengkan kepalanya seolah tidak tahu lagi harus bagaimana menanganinya. “Kamu bahkan ribut dengan Putri. Dia itu anak donatur sekolah ini. Kamu harusnya jangan mengusiknya!”

Ya, karena dia hanya siswi biasa dan sebatang kara. Jika ditanya apakah Nara muak? Sudah jelas dia muak namun ia penakut. Ia belum seberani itu untuk melawan padahal orang orang diluar sana lah yang terlebih dahulu mengusiknya.

“Ini terakhir kalinya saya melihat kamu disini. Mengerti?”

“Ya, mengerti.” Jawab Nara sembari mengambil surat peringatan dan pamit pergi dari ruangan bu Sintia. Ini SP kedua kalinya dalam bulan ini. Nara tidak tahu ada berapa banyak amplop yang ia terima setiap bulannya namun ia tidak pernah mencapai tiga kali.

Nara bukan orang bodoh. Dia tahu kalau pihak sekolah menahan SP ketiganya.

Setelah jauh dari sekolah Nara pun segera mengeluarkan botol berisi cairan disenfektan dari tasnya. Ia menyemprot tangannya beserta amplop tersebut dengan cepat. Pasalnya tangannya sudah gemetar sejak tadi karena memegang benda lain yang tidak ia sterilkan sendiri.

Nara jauh lebih tenang dan mulai menyusuri jalan menuju rumahnya sembari merencakan makanan apa yang akan dia buat nanti karena dia sudah sangat lapar.

[] [] []

“Kenapa lo bisa bareng sama Ceilo?” Tanya Regaza dengan kening berkerut dalam setelah melihat Nara turun dari motor besar sahabatnya itu tepat sebelum keduanya masuk ke shelter.

“Silakan, tanya sendiri.” Jawab Nara seadanya. Dia malas menjawab Regaza karena cowok itu pasti akan memperpanjang waktunya untuk segera membersihkan dirinya.

“Gue nanya lo.” Sahut Regaza, pantang menyerah.

“Gue lagi jalan, duduk, ketemu, lalu ke shelter bareng.” Nara menjawab datar. “Lo mau detail? Ada Ceilo, tanya ketua lo nih kalo berani.”

Regaza mendengus kasar. Terkadang Nara begitu pendiam sampai ia ingin memaki sifat itu, tetapi dirinya seolah tidak berkutik karena Nara mampu menyebut nama Ceilo tak peduli apapun yang terjadi setelahnya.

“Ayo masuk,” Ajak Ceilo kemudian merangkul Nara yang sepertinya sudah kehabisan energi.

“Jangan sentuh. Tangan lo kotor.” Peringat Nara.

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang