Mati. Semuanya aman kalo lo mati sekarang juga.Cowok berbalut hoodie hitam itu duduk di sebuah kedai kecil di sebuah kawasan. Iris matanya yang hanya dimiliki kurang lebih 2% penduduk Bumi tak lepas dari sekelompok orang di sebuah gang kecil sampai dua buah gelas minuman di letakkan diatas mejanya.
“Tumben lo cuma pesan bir doang, Eru.” Ucap sang pemilik kedai itu.
“Ntar kalo udah abis gue pesen yang lain, Jes.”
Jesla, si pemilik kedai pun mengangguk. “Oke, take your time.” Ucap Jesla sebelum pergi dari meja tersebut untuk melayani pelanggan lain.
“Gue jadi inget cewek yang waktu itu nawarin gue ngamar pas di Jepang.” seseorang di hadapan cowok itu berucap sembari menahan tawanya.
“Bacot Rash.” Tandasnya sinis.
Tawa Arash Favin pun meledak. Cowok berambut hitam kelam itu selalu merasa lucu ketika nama samaran Regaza Asheruel disebut — pasalnya nama 'Eru' terdengar imut untuk orang dengan tempramen seperti Regaza.
“Gaboleh gitu, nama adalah anugerah, Eru.” Arash berujar halus yang membuat Regaza berdesis di balik gelas bir. Sebelum cowok itu berubah mengerikan Arash pun berdehem, “Mereka masih disana?”
Regaza melirik Arash tajam sebelum mengalihkan tatapannya ke arah depan. “Masih. Ck, menjijikan.”
Arash mendelik. “Segitu keselnya lo sampe ngatain gue menjijikan?” Tanya Arash dengan bibir mencebik.
Regaza berdecak lagi. “Bukan lo tapi dia.” Sergahnya pelan. Mendengar itu Arash jadi ingin tahu apa yang terjadi. Ia menoleh ke belakang dan menyesal kemudian.
“Kita gamau nolong dia?” Arash berbisik pada Regaza. “Gue kasian ngeliatnya, Reg.”
“Jangan coba-coba ngelakuin pergerakan bodoh.” Peringat Regaza datar. “Itu bukan urusan lo apalagi gue.”
Arash berdecih. “Lo beneran tega ngeliat dia mau di — AH, TOLONG!”
“Diem. Diem di tempat lo, Rash.” Desis Regaza sembari menatap dingin Arash yang hendak bangkit dari duduknya. “Peran lo bukan pahlawan hari ini.”
Arash mengertakkan gigi dengan tangan terkepal diatas meja. Menahan keinginannya untuk menolong seseorang. Benar, dia bukan pahlawan hari ini jadi hal yang terjadi barusan bukanlah urusannya.
Perempuan yang menangis dan meminta pertolongan karena di kelilingi pria hidung belang itu bukanlah urusannya.
“Hiks, tolong. Tolongin gue, pergi! Pergi!” suara jeritan perempuan itu terdengar putus asa, Regaza tetap tenang di tempat sembari menenggak birnya dan orang orang pun melakukan hal sama — mereka tak peduli dan berpikir itu bukanlah urusan mereka.
Tentu saja mereka hanya bisa begitu. Di kawasan yang membuat mereka terbiasa tak acuh terhadap sekitar ini adalah hal lumrah dan paling aman. Mungkin semua orang masih punya nurani namun tak semua dari mereka bisa berani.
Arash mencoba melakukannya namun hatinya seakan menolak. “Sori Reg, gue siap dipukul Ceilo hari ini.”
“Rash! Anjing!” Seru Regaza saat Arash dengan tergesa berlari ke gang kecil tersebut.
Untuk kesekian kali, Arash memainkan peran pahlawannya dan mengacaukan rencana aman yang Regaza buat.
[] [] []
KAMU SEDANG MEMBACA
Privileges
Teen FictionAlara Innara itu anti sosial. Makan, tidur dan kuota internet membuatnya tetap hidup meskipun dunia memandangnya sebelah mata. Namun secara tidak langsung hal tersebut menarik perhatian Ceilo Alastair - si nomor satu, Ketua geng Darvel. Seperti air...