14. Kejadian tanpa prediksi

15.7K 2.1K 133
                                    


Bukannya tak mau bertahan, hanya saja terkadang perlu untuk menyerah pada takdir yang tak mampu digenggam.


“Buat apa gue diajak kesini?”

Sebaris kalimat itu terucap tatkala Nara dibawa masuk ke dalam sebuah tempat serupa kandang black panther di sudut SMA Nusantara Pelita. Deskripsinya sangat cocok, tempatnya gelap dan tidak ada yang berani kesana kecuali Darvel.

“Duduk dulu, Nar.” ujar Aten dengan senyum tipis yang memberi kesan akrab pada Nara.

“Gue gamau bolos.” jawab Nara datar.

“Gue ntar yang bilang ke bu Neta.”

Iris mata Nara menelisik sekitar dan mencari sofa terbersih menurutnya kemudian memilih duduk. Dalam pikirannya, sekalipun ia tak setuju akan sulit menghindari konflik di masa depan dengan mereka berlima jika ia melawan sekarang.

“Ada apa?” Nara bertanya dengan tenang. Ketenangan cewek itu sukses membuat Belvan terusik karena sebelumnya tidak ada yang bisa menghadapi Darvel seperti Nara.

“Lo kenapa bisa setenang ini?” dengkus Belvan.

Nara menatap Belvan sekilas kemudian menyahut dengan acuh, “Pertanyaan sebelumnya belum dijawab.”

“Ck, mau negosiasi.” kata Regaza.

Nara beralih menatap Ceilo menunggu cowok itu berbicara soal negosiasi. Karena mereka saling berhadapan, Nara bahkan tak sadar jika sejak tadi Ceilo terus memerhatikannya meski ia terus mengabaikan tatapan tajam itu.

“Bukannya kita udah bicarain semalam? Apa negosiasinya kurang jelas, Nara?”

Kerutan di kening Nara pun tercipta seiring dengan seringai Ceilo. Seperti terkoneksi akan ekspresinya yang berubah, Nara pun menampilkan semburat kemerahan di pipi saat ia paham maksudnya.

Nara menggeleng tidak setuju. “Gue gamau, gue menolak.”

“Gaboleh.”

“Kenapa? Harusnya boleh. Ini negosiasi.” Nara menghela napas pelan. “Jangan khawatir. Gue bahkan ga tertarik membagikan apa yang gue lihat ke orang lain.”

“Bukan khawatir, tapi lo,” Regaza menunjuk Nara angkuh dengan dagunya. “Rahasia adalah bagian penting dari Darvel dan lo tau itu. Terus menurut lo kita bakalan lepasin itu?”

Nara berdecak. Benar adanya ia kesulitan menahan emosi karena cowok berambut merah itu menganggapnya remeh. “Harusnya lo ga perlu bilang ini negosiasi.”

“Gue hanya mencoba sopan.”

“Usaha yang buruk.” Nara terkekeh. “Then, ancaman ini apa untungnya buat gue, Darvel?”

Regaza sempat terkejut karena nada suara Nara bisa berubah begitu cepat dan terasa alami. Arash selaku cowok yang mendeklarasikan keinginan akrabnya dengan Nara — melihat hal ini membuatnya semakin ingin mengenalnya.

“Lo keliatannya ga menolak ya?” tanya Arash sembari menatap Nara yang sudah duduk menyilangkan kaki.

“Lebih mudah bicara sama orang yang mengerti, ternyata.” ucap Belvan.

Nara memilih mengabaikan Belvan. Matanya bertatapan dengan Ceilo yang seringaiannya semakin lebar — menunggu cowok di hadapannya berbicara sebelum ia semakin tertekan berada di tempat kotor dan gelap begini.

Ceilo menopang dagunya dengan sebelah tangan dan berujar dengan nada serak dan rendah. “Seorang Ratu bisa melakukan hal apapun, Nara.”

Sialnya, Nara menelan saliva saat sekali lagi paham bahwa dialah yang mendapatkan hak istimewa yang menggiurkan sekaligus membahayakan ini.

[] [] []


Dari sekian banyak hal, Kaiden Renggala paling tidak suka hujan. Terlebih ketika dia sedang terluka karena perutnya tersambit senjata tajam karena mencoba kabur dari  tawuran para mahasiswa.

“Sialan, kenapa gaada yang ngasih info disana ada tawuran?! Gue kena sajam nyasar.” Kai berdecak dan meringis di saat bersamaan sembari memegang perut dan ponsel di telinga.

“Kok bisa sih anjing? Lo dimana? Send loc sekarang!”

“Di ruko beras yang udah tutup itu. Gue di belakangnya.” Kai melenguh tatkala rasa nyeri menyerangnya. “Cepet Gen, darahnya makin banyak ...”

“Jangan dimatiin. Lo tekan lukanya biar darahnya ga makin banyak. Gue kesana sama yang lain.”

“Genta.” panggil Kai. “Sheanna ulang tahun hari ini Gen, beliin dessert box buat dia dulu. Gue udah janji itu ada di depan gerbang rumahnya sebelum pulang sekolah.” lanjutnya dengan napas terengah.

“Gue beliin nanti. Lo jangan banyak gerak, Kai.”

Kai tak menjawab. Ia sibuk menekan lukanya dengan kaos yang dikenakannya. Kai baru merasa jika terluka sendirian adalah hal menakutkan — terlebih ketika dia mulai berhalusinasi melihat seseorang yang membuatnya gelisah belakangan ini.

Kai menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin kan dia melihat cewek dengan tatanan rambut aneh dalam keadaan terdesak kematian? Tapi gerakan tangan yang bergetar menekan lukanya dan sibuk menelepon ambulans dengan nada cemas seperti sebuah kenyataan.

“Jangan tidur, Kai.” katanya pelan.

Kai belum pernah merasa hidupnya begitu tak terduga. Cowok itu terkekeh lirih, “Gue pikir lo cuma halusinasi gue, Nara.”

Nara menggeleng mencoba tetap tenang. Jelas lebih terkejut karena menemukan Kai hampir seperti seorang korban sekarat yang selamat dari upaya pembunuhan ketika hendak pulang ke rumahnya. Cewek itu mengusap pucuk kepala Kai dengan tangannya yang bergetar hebat — menunjukkan eksistensinya, begitu kuat dan membungkam halusinasi Kai.

“Jaket lo harum tapi kebesaran.” Nara menatap Kai yang semakin memucat, “Lo kuat Kai, jadi jangan menyerah sekarang.”

“Darahnya, banyak.” Kai menyentuh ringan tangan Nara dengan jari telunjuknya. “Kotor. Lo gemetaran, Nar,”

Nara tersenyum tipis dan tak menjawab apapun. Ketika suara deruman motor dan ambulans terdengar dari kejauhan, Nara pun menyandarkan Kai dengan nyaman sebelum berlari menjauh.

Kai tidak bisa berteriak memanggil namanya ataupun bertanya mengapa ia pergi. Kai hanya bisa bungkam saat tubuhnya diangkat dan sudut matanya melihat Nara yang tak kalah pucat karena bersentuhan dengan dirinya yang bersimbah darah.

[] [] []

Jadi sejauh ini kalian tim Kainara atau Ilonara nih?

Kalau suka cerita ini jangan lupa vote, komen sama share yaa! Tysm💘💗

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang