Nara duduk di depan pintu kulkas yang terbuka sembari memakan dua buah tomat ceri yang dia dapatkan dari menolong nenek yang kesulitan menyebrang dua hari lalu di pertigaan. Ini tomat terakhir dan kulkasnya pun kosong.Cerinya manis bercampur asam lumayan menyenangkan tapi perutnya yang bertambah keroncongan membuat cewek itu mendesah pelan.
Jam sebelas malam dan sehabis hujan. Nara lapar bahkan sebatas mie instan saja ia tak punya.
"Gue laper." Nara bergumam sembari meraih hoodie di kapstok beserta selembar uang dari laci. Cewek itu pergi ke minimarket sendirian.
Jakarta bukanlah tempat yang sepi; Nara sering kali melihat orang orang pulang kerja, menyebrangi jalanan untuk berangkat kerja sampai berbagai macam urusan lainnya. Namun karena sehabis hujan suasananya jadi sepi.
"Selamat datang di Branch, selamat belanja."
Nara tak menjawab dan mengambil keranjang. Cewek itu mengambil makanan tanpa pikir panjang dan menuju kasir setelah selesai. Tapi ternyata, di depan kasir sudah ada empat orang cowok yang berkerumun.
"Gue mau esse pop sama liquid satu, ini roti bukan beli satu gratis satu mba?"
"Maaf mas, yang bener nambah lima ribu rupiah baru dapat dua buah roti. Bukan buy one get one."
"Kemaren gue beli promonya beda."
"Mungkin promo yang sudah berlalu mas,"
"Mba, itu bunyi microwave-nya. Makanan saya udah jadi."
"Ngapain lo beli parfum tengah malem begini anjrit?"
"Gue pengen beli aja."
Berbagai rentetan kalimat serta percakapan tak jelas tersebut membuat Nara memejamkan mata. Dia sangat tidak peduli, tidak berminat untuk ikut campur atau menegur. Dia hanya menunggu agar semuanya cepat beres dan menjadi gilirannya.
Sebelum salah satu cowok berbalik dan menabraknya, lengkap dengan menumpahkan sekaleng minuman dingin di hoodie miliknya.
"Eh, gue gatau ada orang lagi ngantri." katanya tanpa nada menyesal sedikit pun.
"Wah parah lo Kai, basah semua itu hoodie-nya!" kompor salah satu cowok disana yang sedang memegang onigiri.
"Gue gatau."
Nara mendongak. Matanya menatap mata Kai yang kebiruan kemudian beralih menatap hoodie yang dikenakannya. "Ini kesalahan lo kan?" tanya Nara.
"Iya, salah gue. Asli, gue ga sengaja." jawab Kai.
"Minta maaf." titah Nara. Sorot matanya masih sedatar pada awal dia menatap Kai.
"Gue minta maaf." Kai akhirnya peka. Nada suaranya memang tak terdengar menyesal namun bagi Nara orang orang seperti dia harus tahu bahwa kata maaf itu penting terlebih, karena dia bersalah.
Kai merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Nara terdiam dan tak mengambil uang tersebut meski Kai mengernyitkan kening.
"Kata Kai ambil duitnya." ujar cowok di pinggir si onigiri dengan gemas.
"Mending buat gue sih Kai, duitnya." desak si cowok yang nawar promo roti karena Nara tak kunjung mengambil uang itu.
"Ambil, buat laundry hoodie lo."
Nara melirik kasir yang sudah selesai menghitung belanjaannya dan kasir yang mulanya ragu berkata pun akhirnya membuka mulutnya. "Totalnya dua ratus ribu, kak."
"Dia yang bayar, mba." ucap Nara kemudian mengambil belanjaannya. "Gue punya mesin cuci di rumah. Makasih ganti ruginya, Kai." pamitnya seraya sedikit menunduk berterima kasih.
Setelah pintu kaca itu tertutup ketiga cowok itu hanya bisa mengerjapkan mata karena Nara sukses membuat mereka tercengang tak bisa berkata kata.
Kecuali, Kai. Cowok itu nampak tak puas dan tak terima karena Nara seolah menolak pemberiannya.
[] [] []
Seekor kucing yang mendusel di kaki Nara membuat cewek itu tak kuasa untuk membelai lembut makhluk berbulu itu. Kucing itu mengeong menyukai cara Nara memperlakukannya.
Senyum Nara terbit dengan tulus. Ia tampak senang karena kucing itu menatapnya dengan tatapan berseri seri.
"Pelan pelan, ntar keselek." tegur Nara karena kucing itu memakan wet food yang ia beli tadi dengan tergesa.
"Meong." kucing itu menyahut sebagai balasan. Nara tersenyum lagi karena merasa bahasanya bisa dipahami oleh kucing.
Mulanya bagi Nara hal ini sangat sulit, kucing yang dia belai ini adalah kucing jalanan tanpa perhatian khusus. Dalam pikirannya serta hatinya ini merupakan sesuatu yang kotor membuatnya tak nyaman.
Nara sampai mencuci tangannya dua belas kali hanya untuk memastikan bahwa tangannya bersih. Ia terus mengulanginya setiap hari selama dua minggu sampai tangannya memucat dan berkerut.
"Jangan dekat dekat. Makanannya udah habis."
Kucing itu mengeong. Sepertinya wet food itu kurang memuaskan rasa kelaparannya.
"Habis. Gue miskin, beli satu doang." ucap Nara lagi.
"Meongg ..."
Meski rengekan itu terdengar menggemaskan Nara tidak bisa lagi berdekatan. Dia mulai merasakan gejolak ingin muntah dan perasaan tertekan. Cewek itu bangkit dan menutup mulutnya dengan lengan hoodie.
Mual, kotor, menjijikan.
Nara merogoh sakunya, mencari hand sanitizer namun nihil. Benda itu hilang, tak ada disana padahal Nara selalu membawanya kemana mana.
"Jatuh dimana?" Nara memandang sekeliling dengan panik. Wajahnya dihiasi kerutan di kening dan pucat pasi. "Gabisa, gue gabisa. Kotor, semuanya harus dibersihkan, kotor ...,"
Nara tertunduk. Gemetar dan dipenuhi dengan kegelisahan. Nara terus meratap bagai orang kehilangan kewarasan.
"Lo ngapain duduk di tengah jalan?" Mata kebiruan itu menatap Nara lekat. "Hei, ini hand sanitizer lo ketinggalan."
Nara mendongak. Merebut benda itu dan menuangkannya ke telapak tangan dengan rusuh. Kai membulatkan mata saat menemukan Nara yang semula kacau menampilkan raut penuh kelegaan.
Wajah seputih kertas itu tenang setelah menghabiskan sebotol penuh isi hand sanitizer tanpa sisa.
"Apa lo pengidap obsessive compulsive disorder?" tanya Kai dengan nada rendahnya.
"Bukan urusan lo." sahut Nara. Namun, cewek itu tidak sadar bahwa di detik pertama dia bangkit, Kai menangkap tubuhnya yang pingsan sebelum menyentuh aspal.
"Keras kepala." desis Kai yang kemudian menggendong Nara pergi dari sana.
[] [] []
KAMU SEDANG MEMBACA
Privileges
Teen FictionAlara Innara itu anti sosial. Makan, tidur dan kuota internet membuatnya tetap hidup meskipun dunia memandangnya sebelah mata. Namun secara tidak langsung hal tersebut menarik perhatian Ceilo Alastair - si nomor satu, Ketua geng Darvel. Seperti air...