12. Terjebak

15.8K 2.1K 98
                                    


Tak ada yang lebih berbahaya dari tenggelam dalam dasar air yang tenang.

Shelter Darvel itu lumayan luas. Berada di lantai atas sebuah gedung dan membuatnya sering juga disebut rooftop. Perabotannya tak terlalu banyak namun bisa terbilang lengkap meskipun tidak ada dapur. Ada sofa, meja dan kulkas. Bahkan ada ranjang yang tertutup tirai hitam sebagai pembatas.

Seperti kebanyakan tempat yang dihuni oleh laki-laki, shelter Darvel itu berantakan. Banyak kaleng bekas softdrink, kardus makanan siap saji, hingga bungkus cemilan yang berserakan.

Makanya ketika Nara membuka matanya setelah pingsan dia sangatlah menyesal.

“Mendingan mata gue ditutup.” ucapnya pelan.

“Lo mau mata lo ditutup?” tanya Arash yang mendengar ucapan Nara.

Sontak Nara menoleh dan mendapati Arash di sampingnya, dia tak menjawab dan menatap tangan Arash yang terborgol di tiang dengan posisi terduduk sepertinya.

“Ah ini, kita sama.” Arash mendengus tertawa sembari mengerakkan borgolnya hingga suaranya terdengar nyaring. “Tadi lo pingsan. Sekarang lo di shelter Darvel. Oke gue tau ini bukan sambutan yang menyenangkan tapi welcome to this place, Nara.”

Nara merotasikan bola mata. Arash memang friendly dan hampir membuat Nara menarik sudut bibirnya untuk sekadar memberi senyuman tipis namun jika keadaannya tidak seperti ini.

“Ini mirip neraka.” ujar Nara datar.

Arash hampir tak bisa berkata kata. Ucapan Nara yang tajam seolah membuat cowok itu tertohok. “Padahal lo bisa setajam ini kalo ngomong tapi kenapa pas dibully diem aja?”

“Males.”

Wah, dua kali Arash dibuat speechless. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Nara sungguh membuat Arash bertanya tanya, apa Nara memang aslinya begini? Tapi dia urung karena cewek di sampingnya kembali memejamkan mata.

“Lo ga takut, Nara?”

“Bukan takut tapi benci. Disini kotor.” balas Nara yang membuat Arash mengangguk kecil.

“Lo berdua lagi pdkt ya?” Suara Belvan menyela percakapan Nara dan Arash ketika cowok itu masuk bersama anak Darvel lainnya.

“Bisa jadi.” sahut Arash tak acuh.

“Gue ga nyangka selain ansos lo punya gangguan jiwa juga.” ujar Regaza dengan pandangan lurus ke arah Nara. “Hidup lo agak memprihatinkan.”

Thanks for your attention, Regaza Asheruel.” sahut Nara dengan nada dingin. Baginya, tidak ada orang yang bisa menyinggung sisi lemahnya soal bagaimana dia hidup dan OCD yang ia alami. Gadis berambut panjang itu sedikit sensitif soal kedua hal tersebut.

Regaza berjongkok dan menatap Nara. “How dare you spell my name like that? Cewek kayak lo ga pantas buat itu.”

“Benar.” Nara terdiam. Matanya pun terpejam seakan tak mau berlama lama untuk terbuka. Melihat pemandangan shelter sudah cukup membuatnya muak ditambah lagi Regaza di hadapannya.

“Lo—” Regaza mendecak kemudian menggeram rendah. “Cewek sialan.” Ah, seharusnya Regaza ikut mendaftar menjadi Ketua haters Nara jika lelaki itu punya rasa benci sebesar ini padanya.

“Nara,” Suara serak Ceilo terdengar. Nara tanpa sadar menelan ludah kasar. Entah kenapa ia waspada pada laki-laki rupawan dengan sorot mata sedingin Ceilo padahal sebelumnya tidak sama sekali — mungkin karena sedang terdesak dan tak berdaya.

Nara menarik napas dalam dalam. Merasa tercekat karena baru mendengar suara Ceilo sejelas ini. “Kenapa?”

Ceilo hanya berkata lewat tatapan seolah dia akan berbicara pada Nara. “Pindahin Arash ke ruang sebelah, Reg.” ia memerintah. “Lo semua pergi.”

Mereka pergi menyisakan Nara beserta alarm tanda bahaya yang berbunyi nyaring di dalam lintas benak karena Ceilo kini mengarahkan seluruh atensi padanya.

oOo

Relax. I won't bite.” Ceilo berujar sembari menyesap minumannya. Nara pikir itu adalah whisky karena botol itu mirip dengan punya Mahesa di kamarnya. Nara yang waktu itu masih SMP pun akhirnya googling dan sedikit meringis karena ternyata harganya setara dengan uang jajannya dulu. Terlepas dari itu, Ceilo yang duduk di hadapannya sudah membebaskannya dari borgol dan mengijinkan Nara mencuci tangannya selama sepuluh menit.

Rasanya masih kurang 'bersih' jadi seluruh ruangan berbau antiseptik yang melekat kuat karena Nara menyemprotkan hand sanitizer dimana mana.

Ceilo menatap Nara lekat, meski tak terlihat jelas karena ruangan yang gelap Nara yakin 100% jika bayangannya terekam dalam iris abu-abu cowok di hadapannya. Nara kira dia hanya bisa melihat warna mata seperti Ceilo di dalam anime yang dia tonton namun ternyata tidak. Saking tak pedulinya dia pada sekitar, Nara sampai tidak pernah tahu jika hal-hal diluar ekspetasinya ada di hadapannya saat ini.

“Bernapas, Nara.”

“Ya. Udah dari tadi.” jawab Nara bohong. Dia memang menahan napas sejak tadi. Interaksi semacam ini membuat kepalanya pening.

“Hm.” dalam seperkian detik Ceilo mendekat, Nara kalah cepat karena cowok itu terlebih dahulu menahan tengkuknya membuat Nara bisa mencium aroma segar memabukkan yang menguar entah dari mulut atau parfumnya.

“Lepas. Lo tau gue benci disentuh.” Nara mengertakkan gigi gerahamnya tatkala Ceilo dengan lancang menyampirkan rambutnya ke telinga.

“Gue bersih.” Ceilo berbisik tepat di depan bibir Nara hingga cewek itu sekali lagi menahan napasnya. “Lo udah nyemprotin gue pake hand sanitizer dari tadi.”

“Kalo begitu menjauh. Lo terlalu dekat.”

“Lo cantik.”

Nara mendesah kasar. Dengan memberanikan diri dia pun mendorong Ceilo. Ia memalingkan wajahnya ke samping dan menghirup udara sebanyak banyaknya. Dadanya seakan mau meledak hanya karena detaknya tak beraturan dan semakin cepat.

Ceilo menyeringai kecil melihat pipi cewek itu yang bersemu. Nara terlihat menutupi salah tingkahnya dengan memilin ujung hoodie miliknya dan mengigit bibirnya. Dia tidak pernah tahu ternyata menggoda seseorang semenyenangkan ini.

Nara yang merasa diperhatikan Ceilo pun akhirnya menoleh dengan mengernyit halus. “Apa? Lo senang?” tanyanya galak. “Kalo udah selesai dengan kesenangan lo sekarang biarin gue pergi. Gue mau pulang.” lanjutnya.

Nara mendelik karena Ceilo memojokkan dirinya sampai membentur punggung sofa. “Hei, lo kan bisa ngomong dari sana — Ceilo,” Nara tercekat. Ceilo jelas bukan manusia suka bercanda, sekarang pun tidak dan Nara panik bukan main.

“Selesai.” bisiknya serak. Ceilo mengusap pelan leher Nara yang basah karena ulahnya. “Now you can't run or hide from me, Nara.”

Karena Ceilo Alastair tidak akan melepas apapun yang membuatnya senang.

oOo

Kali ini Nara nggak pingsan. Tapi gatau kalo jiwanya🙅

Jangan lupa spam komen, vote dan share kalo suka cerita ini ya!💘

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang