Sorry for late update, buat kalian yang lupa alurnya gimana bisa baca ulang aja yaa, thankies💘
Nara menatap pantulan dirinya lamat lamat di depan cermin, begitu pucat dan kacau dengan seragam yang penuh noda darah. Rambutnya kusut dan sepertinya sudah tidak bisa lagi disisir saking kusutnya. Nara berhasil pulang setelah di sepanjang jalan menjadi ejekan serta hinaan orang orang yang mengiranya orang tidak waras.
Samar samar aroma karat besi tercium, ia menggosok tangannya lebih kuat di bawah aliran air. Melihat banyaknya darah berlumuran di tangannya Nara semakin tak terkendali. Ia terus menggunakan sabun, menggosok tangannya tanpa henti dengan napas memburu.
Nara melirik kakinya, darah menggenang di bawahnya - makin lama makin tinggi sampai pasokan udara di sekelilingnya menipis. Pengap dan genangan darah tersebut semakin menenggelamkannya. Ringisan pilu Nara terdengar karena ketakutan juga ikut serta melemahkan keberaniannya.
"Nara, buka pintunya! Lo udah pulang kan?"
Nara mengerjapkan mata, tangannya mencengkram pinggiran wastafel ketika ia sadar bahwa semua hanya ilusi. Genangan darah itu hilang dan tangannya pun bersih meski sudah menjadi keriput akibat terlalu lama dicuci.
"Kenapa?" tanya Nara. Kepalanya menyembul dari balik pintu sembari melihat Mahesa tanpa ekspresi.
"Baju lo darah semua."
"Gaada."
Mahesa menatap Nara tajam. "Lo pikir gue ga bakal lihat kalau lo mengendap dari gerbang buat masuk kesini?"
Nara membiarkan Mahesa memaksa masuk ke dalam kamarnya dan cowok itu mencari yang dia cari di seluruh kamar Nara namun nihil - dia tak menemukan apapun.
"Mau lo jelasin atau gue yang cari tau sendiri?" Mahesa bertanya dengan nada dingin.
"Ngapain lo repot begini? Biasanya lo ga peduli, Mahesa?"
Sedetik kemudian Nara menyesal karena ekspresi Mahesa berubah getir. "Pasti lo udah tau beritanya, tapi, gue baik baik aja. Itu bukan gue yang kena ..."
Jeda lama sekali. Keheningan meliputi keduanya di kamar itu. Dalam hati Nara merasa bersalah sudah menciptakan ekspresi itu di wajah Mahesa yang merupakan kakaknya namun tidak semua orang bisa mengerti jika cara peduli itu berbeda beda - terlebih Nara yang selama ini tidak pernah tahu sifat Mahesa. Meskipun darah lebih kental dari air dan mereka bersaudara tetap saja, perlu waktu untuk dua orang asing saling memahami satu sama lain.
"Ya." sahut Mahesa.
Nara pun terdiam ketika Mahesa pergi meninggalkannya tanpa tahu jika senyum samar terlukis di bibirnya. "Gue seneng lo baik baik aja, Nara."
[][][]
Malam itu di shelter Darvel berisi mereka berlima. Seperti biasa, mereka akan berkumpul setiap hari walaupun kadang melakukan kegiatan tidak produktif dan Regaza terlihat menarik perhatian Belvan karena tindakannya saat ini.
"Ngapain lo?" tanya Belvan dengan tatapan penasaran.
"Hancurin semuanya." sahut Regaza.
"Ngapain dihancurin, kan mahal tuh."
"Gue ga gila jadi ga perlu minum obat beginian!" Regaza menjawab dengan cepat dan tegas sampai Belvan jadi tersedak asap vape karena kaget.
"Lo bisa santai ga? Gue kaget tolol." dengus Belvan.
"Sori, kelepasan jing." Regaza berucap santai sembari tetap menggerus obat obatannya sampai halus dengan gelas vodka.
"Mending gue minum obatnya daripada lo buang Reg." Arash menyeletuk sembari membuang asap rokoknya di udara.
"Halah terakhir kali lo minum yang pil, lo gabisa nelennya. Banyak gaya." ejek Regaza. Fyi, Arash itu gabisa minum obat pil. Ujungnya muntah dan doi kesal sendiri karena gaya minum obatnya mesti pakai pisang atau roti. Secara dia laki, jadi dia malu tiap diledek mirip bocah.
"Jangan dengerin kata Rega karena dia benar." sambung Belvan dengan senyumnya yang menyebalkan.
"Atenn, gue diledekin!" adu Arash dengan wajah memelas pada Aten yang sedang membaca ensiklopedia.
Aten menurunkan kacamata bacanya. "Minum vitamin aja. Gue udah beliin rasa jeruk kan kemarin?" ucapnya.
"Itu kan bukan obat!" debat Arash.
"Disini tulisannya obat." Ceilo memegang botol berisi vitamin jeruk yang bentuknya bintang bintang serta menunjukkan jika labelnya bertuliskan obat padahal itu ulah Aten yang memasukkannya ke botol kosong dan mengganti luarnya dengan printing label sendiri.
"Bangsat, dioplos." kata Regaza sambil tertawa.
"Ga heran lo juara umum, Ten. Kecerdasan lo melampaui rata rata." timpal Belvan yang juga tertawa bersama Regaza.
Arash mencebikkan bibirnya sedangkan Ceilo memberi botol vitamin, eh obat kepada cowok itu yang diterimanya dengan setengah hati.
Regaza menggelengkan kepala melihat hal tersebut kemudian membuang obat yang sudah halus tersebut ke dalam tong sampah. "Janji ga iri? Ga janji." ucapnya pelan.
"Lo kan bilang sehat itu lebih mahal dari obat lo. Jadi semangatlah Reg,"
"Yang bilang gue ga semangat siapa? Sotau lo." ketus Regaza pada Belvan.
"Abisnya muka lo sedih banget Reg, gue jadi kasian."
"Bajingan lo, Belvan. Sini lo!"
"Ini dua orang love hate relationship apa gimana?" ucap Arash bingung ketika melihat keduanya saling baku hantam di sofa padahal barusan kompak membully dirinya.
"Ya. Biar akrab." ujar Aten sembari kembali fokus pada ensiklopedianya, lagi.
Ceilo menghisap rokoknya kemudian membuangnya ke udara. Ketika memikirkan sesuatu yang beberapa hari ini berkeliaran di benaknya senyum miringnya kembali terbit. Ternyata kakaknya itu benar, jika itu terasa menyenangkan maka akan sulit untuk berhenti.
[][][]
- Cuplikan Ceilo dengan kakak perempuannya :
"Jangan teriak malam malam, berisik." tegur Ceilo pada kakaknya yang tengah sibuk menonton drama korea.
"Suka suka gue. Bikin aja kamar lo kedap udara kalau gamau berisik." ketus kakaknya sembari menatap Ceilo sinis.
"Ini bukan hutan."
"Ya emang, ini kamar gue."
Ceilo pun mematikan lampu kamar kakaknya dan menutup pintu sedangkan kakaknya sudah berteriak keras dari dalam kamar. "Nanti juga lo tau, kalo lo seneng bakalan susah buat berhenti! KEBIASAANN! NGAPAIN LO MATIIN LAMPUNYA, CEILO?!!!"
Cuplikan selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Privileges
Teen FictionAlara Innara itu anti sosial. Makan, tidur dan kuota internet membuatnya tetap hidup meskipun dunia memandangnya sebelah mata. Namun secara tidak langsung hal tersebut menarik perhatian Ceilo Alastair - si nomor satu, Ketua geng Darvel. Seperti air...