33°

616 41 0
                                    

Rinai menggenggam tangan Petir dan menatapnya dengan serius. "Percaya sama Mama, Mama sudah membaik sayang."

"Petir tunggu sampai Mama boleh pulang dari Rumah Sakit, baru Petir berangkat ke Amerika." Petir tetap pada pendiriannya. Rasanya jika dia meninggalkan Rinai, yang ada dia tidak akan tenang nanti disana, pasti ada perasaan mengganjal jika tak melihat Rinai pulih lebih dulu.

Rinai berdecak. "Jangan keras kepala Bang, kamu mau menyesal lagi kayak kemarin-kemarin karena gak dengerin omongan Mama? Buktiin ke Audrey kalau kamu masih sayang sama dia."

Petir menghela nafas. "Mama itu prioritas utama dihati aku, jadi mau urusan apapun itu kalau harus milih antara Mama atau orang lain, Mama yang utama."

Menghembuskan nafas kasar, Rinai menarik tangannya tak lagi menggenggam tangan Petir dan mengalihkan pandangan tak lagi menatap Petir. Petir memang selalu menjadikan Rinai sebagai prioritas utamanya, Rinai senang dengan itu tapi untuk saat ini, menurutnya prioritas yang harus Petir utamakan itu Audrey.

"Mama gak suka sama kamu yang selalu keras kepala Bang."

"Kalau gitu cepat pulih Ma supaya Petir gak berat ninggalin Mama."

"Mama udah pulih Bang, tanya dokter kalau kamu gak percaya, Mama cuman hanya butuh istirahat beberapa hari untuk benar-benar pulih seutuhnya."

Petir meraih jemari Rinai untuk digenggam, cowok itu akhirnya mengangguk. "Kalau mendapat izin dan paksaan dari Mama kayak gini, Petir jadi gak berat untuk pergi samperin Audrey. Makasih Ma." Petir bangkit dari duduknya, memeluk Rinai.

Rinai membalas pelukan Petir. "Bawa calon menantu Mama dalam keadaan sehat ya Bang." Mengenai penyakit Audrey, Rinai memang sudah mengetahuinya dari Petir.

Petir mengangguk. "Pasti Ma, doain dari sini ya Ma."

***

Dengan nekat Petir benar-benar berangkat ke negeri orang seorang diri. Untung saja Petir tidak bodoh-bodoh sekali dalam pelajaran bahasa inggris, setidaknya untuk mengobrol biasa dia masih bisa melakukan itu.

Beberapa jam diperjalanan, Petir sudah sampai di Rumah Sakit yang diberitahu oleh Renti, berlari menelusuri lorong rumah sakit, Petir langsung menanyakan pada sang suster.

"Ruang rawat atas nama Audrey Lazuardy?" tanya Petir to the point dengan bahasa inggrisnya.

"Maaf, di Rumah Sakit ini tidak ada pasien yang bernama Audrey."

"Pengobatan rutin kemoterapi untuk leukemia atas nama Audrey Lazuardy, ada?"

"Sebentar, saya cek lebih dulu." Membaca data-data Rumah Sakit dari komputer selama beberapa menit, sang suster akhirnya kembali menatap Petir.

"Hari ini jadwal kemoterapi atas nama Audrey Lazuardy, di ruangan Dr. Andi." ujarnya memberi tahu.

Petir menghela nafas lega. "Terimakasih suster." Setelahnya Petir dengan gencar mencari ruangan Dr. Andi, membaca setiap petunjuk yang ada di Rumah Sakit, hingga akhirnya dapat melihat ruangan dengan nama tertera 'Dr. Andi.'

"Petir?!"

Petir dapat melihat raut kaget dari Audi. Menghampiri Audi, Petir menyalimi Audi sopan. "Tante."

Putus atau Terus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang