34°

581 44 0
                                    

Petir mengusap surai hitam Audrey dengan sangat lembut seraya menatap lekat wajah cantiknya, sedangkan yang ditatap berkali-kali berdecak kesal karena merasa salah tingkah.

Menghela nafas kasar, Audrey akhirnya bersuara dengan nada sinis. "Sampai kapan lo mau lihatin gue?"

"Audrey, kamu harus janji kalau kamu gak akan tinggalin aku."

"Apaan sih!" Audrey mendelik sebal.

"Lo yang bilang kalau gak akan ada yang pisahin gue sama lo, terus sekarang lo ragu sama itu?"

Petir menggeleng kuat. Dia beralih menggenggam jemari Audrey. "Ada sesuatu mengganjal dihati aku, aku gak tau apa arti dari itu."

"Itu hanya perasaan lo. Lo tenang aja, gue mampu lewatin kemo, gue yakin Tuhan masih kasih kesempatan untuk gue hidup." Audrey yakin kali ini.

"Pacar aku emang gadis yang kuat." Petir mengusap pipi Audrey gemas.

Audrey berdecih. "Pacar? Lo mantan kalau lo lupa."

"Manis diingatan?" Petir terkekeh geli ketika mengikuti kalimat Nathan di film Dear Nathan.

"Pahit!" ketus Audrey.

"Obat?" Petir tersenyum penuh arti, tanpa diminta pikirannya langsung ditarik kembali pada waktu itu, saat dimana Petir mengajak Audrey untuk berpacaran.

Mengeratkan genggaman tangannya pada Audrey, Petir masih menatap Audrey lekat. "Kamu tetap jadi obat untuk luka aku Drey, kamu tetap jadi rumah untuk aku pulang, kamu tetap jadi matahari untuk kegelapan aku, dan kamu tetap Audrey Lazuardy tambatan hati Petir Mahendra. Sampai kapanpun dan selamanya."

"Kalau gue gak mau jadi tambatan hati lo gimana? Gue mau cari cowok yang gentle, yang gak suka merengek dan ambekan kayak lo."

Petir mendecak kesal. "Tapi aku gemesin 'kan? Aku harap ada Petir junior nanti yang lahir dari rahim Mommy Audrey,"

"Dih halu lo terlalu tinggi!"

"Kebayang gak sih, aku sama kamu udah punya anak cucu, ah gemes banget, aku yakin kamu pasti semakin hari bahkan semakin tua nanti makin cantik." Petir menopang dagunya menggunakan kedua tangannya, berangan-angan membayangkan nanti jika dirinya dengan Audrey menikah dan langgeng sampai kakek nenek.

"Emang lo mau punya anak berapa?" Iseng, Audrey bertanya.

"Lima? Enam? Tujuh? Delapan? Ah dua puluh aja gimana?"

"Gila!" desis Audrey.

"Tapi aku lebih pengen anak kembar Mommy Audrey." kata Petir disertai kerlingan matanya, menggoda.

"Mommy-Mommy pala lo! Gak ada manggil-manggil kek gitu, jijik tau gak?!"

Petir tertawa, semakin menjadi. "Hahaha Mommy Audley Mommy Audley Mommy Audley!"

"Badan tegap, muka sangar, kelakuan bocil!"

"Dari pada kamu?"

"Kenapa gue hah?" Audrey memicingkan mata.

"Bikin hati aku gak bisa tenang, kamu serakah! Masa cantik, lucu, gemesin, mempesona, diambil semua!"

"Hilih gombal banget lo gledek!"

"Petir sayang, bukan gledek." gemas Petir.

"Ngomong-ngomong, lo pernah tanya ke Mama Rinai kenapa lo dinamain Petir?" Entahlah, sampai sekarang Audrey baru menemukan satu orang bernama Petir di sekitarannya.

Petir terkekeh kecil seraya mengangguk. "Pernah."

"Terus apa jawaban Mama Rinai?" tanya Audrey semakin penasaran.

Putus atau Terus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang