32°

579 41 1
                                    

Audrey tersenyum dengan mata berkaca-kaca, meyakinkan dalam hati bahwa dia memang baik-baik saja setelah melihat gambar yang dikirimkan Zeva.

Foto Petir berpelukan dengan Liona, tentu Audrey kenal dengan Liona, selain mereka satu sekolah, Liona anak dari teman Audi, dan sepertinya gadis itu memang sudah lama menyukai Petir. Audrey menyadari kalau Liona sering tertangkap basah olehnya sedang memperhatikan Petir. Sebagai sesama cewek, Audrey mengerti arti tatapan itu.

"Kamu udah temuin cewek baru Petir, kamu gak salah pilih, Liona anak yang baik..."

"Liona udah lama suka sama kamu, dan aku yakin dia tulus sayang sama kamu."

Sial, air mata itu akhirnya lolos membasahi pipinya yang dengan cepat dia usap kasar. Kenapa dia harus menangis? Bukannya ini memang keinginannya? Petir menemukan gadis lain yang membuatnya bahagia.

Audrey kembali menatap pesan terakhir yang dia kirimkan untuk Petir.

To: Petir Mahendra

Sampaikan permintaan maaf dari gue dan Buna untuk Mama dan semua keluarga lo.

Buna udah cerita kalau dia gak tau Om Tio
masih punya istri sah. Buna gak sejahat itu
harus renggut kebahagian orang lain demi kebahagiaannya sendiri.

Gue harap lo bahagia dan kita bisa sama-sama melupakan satu sama lain. Gue pikir itu hal mudah untuk lo.

Gue harap lo bisa temuin cewek yang lebih baik dari gue, yang bisa menjadi obat untuk lo.

Jujur gue mau bilang terimakasih sama lo, gue juga gak mau menolak ingat kalau lo itu salah satu kebahagiaan gue dulu.

Terimakasih sudah menjadi bagian dari
manisnya masa SMA gue.

Terimakasih sudah mau menjadi delightful first love and first love that hurts di waktu yang bersamaan.

Gue harap ini komunikasi terakhir kita.

Bye, jaga kesehatan terus Petir Mahendra.

Audrey melempar ponselnya asal, merebahkan dirinya dan menyembunyikan wajahnya dibalik bantal. Tangisnya pecah, berusaha menahannya ternyata dadanya justru malah terasa semakin sesak, hingga akhirnya memilih untuk kalah.

"Kenapa harus gue yang punya penyakit kayak gini..."

***

Keberangkatan Petir ke Amerika terpaksa ditunda karena mendapat kabar bahwa Rinai kecelakaan dan masuk Rumah Sakit.

Berlari menelusuri lorong Rumah Sakit, Petir langsung memasuki ruang kamar yang sudah diberitahukan Mentari melalui telfon. Dia begitu panik saat ini.

Menemukan Mentari yang menangis tersedu-sedu Petir menghampiri gadis kecil itu. "Gimana keadaan Mama?"

Mentari berdiri lantas memeluk Petir. "Mama kritis dan butuh donor darah Bang, tapi golongan darah AB lagi kosong dirumah sakit, tadi Tari mau donor karena cuman Tari yang sama golongan darahnya sama Mama, tapi Tari masih dibawah umur." Memang benar, diantara Petir dan Mentari, hanya Mentari saja yang memiliki golongan darah yang sama dengan Rinai, sedangkan Petir tentu saja serupa dengan Tio.

"Tenang dulu ya, Abang pasti cariin secepatnya."

Mentari mengangguk.

Petir segera keluar dari ruangan Rinai untuk segera mencari pendonor yang tepat. Menelfon beberapa kenalannya untuk menanyakan.

Putus atau Terus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang