Menyiapkan Pakaian

2.1K 104 0
                                    

Sachi mencoba membuka mata, berusaha menyesuaikan cahaya yang menyilaukan dari jendela. Ia merasakan ada sesuatu yang menekan dipunggungnya. Setelah kesadarannya penuh ia mendapati dirinya berbaring sempurna di atas ranjang king size milik Sean dengan sang pemilik yang sedang memeluk pinggangnya.

Seperdetik Sachi bangkit terduduk di atas ranjang dengan jantung berdebar. Ini pertama kalinya mereka tidur seranjang. Wanita itu hendak turun dari ranjang pelan-pelan agar Sean tidak bangun.

"Kau sudah bangun?" Sean membuka matanya. "Oh maaf..." ia buru-buru menarik tangannya dari pinggang Sachi. Kedua orang itu salah tingkah.

"Tidak apa." Ucap Sachi gugup. Sean memandangi rambut panjang sepinggang itu dengan tersenyum tipis. Jemarinya mengambil ujung rambut Sachi untuk dimainkan. Dan itu cukup membuat Sachi mematung.

"Kita ini suami-istri, Sachi. Jadi jangan malu." Ucap Sean dengan lembut. "Sebelum menikah apa kau sudah pernah pacaran?" tanya Sean. Membuat jantung Sachi berdetak tak menentu. Tidak ada suara jawaban Sachi. Hening, sangat hening.

Satu menit.


Dua menit.


Sean berkata. "Tidak masalah kau punya banyak mantan. Kau bukan anak kecil lagi." Sachi masih belum mau bicara. "Aku ingin kau menyiapkan pakaian kerjaku, bisa?"

Untuk pertama kalinya Sean memberi tugas sebagai istri. Dengan cepat Sachi bangkit berdiri, wanita bergaun tidur cream yang tipis itu membuat Sean tersiksa. Matanya mengawasi bentuk tubuh Sachi, kakinya yang jenjang berjalan ke arah lemari.

Sachi menatap takjub pada isi lemari Sean. Semua terlihat bagus-bagus pasti semua mahal. Dan dia yakin apa pun yang akan dipakai Sean pasti semua cocok. Ini tidak adil. Sean memiliki semua yang diinginkan kaum hawa, Sachi mencari kekurangan Sean tapi ia tidak menemukannya. Sean mendekati kata sempurna.

"Apa tidak ada satupun pakaian ini yang jelek." Sachi mendesis pelan. Ia menggelengkan kepalanya. "Ini tutup mata saja bisa memilih." Tangan Sachi bergerak menelisik pakaian yang ada di lemari.

Akhirnya Sachi memilih kemeja kotak-kotak merah yang dia anggap paling jelek dan murah mungkin. Sean terduduk tegak mengawasi Sachi dari tempat tidur.

"Yang serius memilih bajunya."

"Ini juga sudah serius, tapi semuanya sama bagusnya. Semua cocok untukmu." Kata Sachi pelan yang tidak dapat di dengar Sean. Ia mengembalikan kemeja kotak-kotak dan menukar dengan kemeja putih.


"Jangan lupa siapkan sepatu dan kaus kaki juga. Pilih dasinya jangan berwarna terang. Nanti buatkan aku kopi pahit, gulanya setengah sendok, sekalian dengan sarapan." Kata Sean beruntun. Mengurus satu Sean saja sudah membuat kepala Sachi pusing. Bukankah di rumah ini banyak pelayan?

Sachi mengangguk.

Sean masuk kamar mandi. Jangan kira kalau waktu mandinya sama seperti laki-laki pada umumnya yang 10 menit selesai. Banyak ritual yang dilakukan Sean di sana. Mencukur brewok tipisnya, pakai shampoo dua kali, sabunan dua kali.

Aroma parfum mahal menguar keluar saat Sean keluar kamar. Pria itu berkemeja putih sangat menawan dan berwibawa. Ia berjalan ke ruang makan melihat Sachi sedang menuangkan kopi ke dalam gelas putih. Tiga orang pelayan berseragam berdiri berjejer menunggu Tuan mereka datang. Kalau-kalau Sean protes rasa masakan dan minta ganti menu mereka sudah standby.

"Coba bayangkan." Sean menatap Sachi. "Saat aku mengangkat gelas itu kopinya sudah tumpah di pakaianku." Ujarnya kembali menatap kopi yang memenuhi sampai muncung gelas. "Ganti."

Salah seorang pelayan mengambil gelas ke belakang. Lalu memberikan pada Sachi. "Ini Nona." Kata Kokom. Sachi mengulangi pekerjaannya.

"Kenapa taplak piringnya kotor? Yang benar ngisinya, Sachi. Jangan netes-netes." Protes Sean. "Ganti."

Kokom buru-buru mengambil gelas yang bersih lagi. Dia ikut jantungan, begitu juga dua orang pelayan yang berdiri di tepi meja.

Alis Sean naik ke atas. "Ganti!"

Lagi Sachi melakukan kesalahan.

Bagaimana Sachi bisa tenang? Mata Sean mengawasi gerakan tangannya. Bahkan dia sampai menahan nafas mengisi kopi ke dalam gelas.

"Berdoa dulu, Non." Kata Kokom pelan datang dengan gelas ke lima. Sachi menurut, ia memejamkan mata sebentar menarik nafas lalu menuangnya. "AH BERHASIL...."

Sachi tersenyum bangga, kedua pelayan itu juga mengelus dada karena lega.

"Ekhem." Sean berdeham. "Jangan bilang ini pertama kalinya kau membuatkan kopi untuk orang lain?" Tanya Sean memandang wajah Sachi dengan tatapan heran.

"Sebenarnya aku sering masak sama Mama... bantuin mama." Tiap kali Sachi membantu ibunya masak dia hanya bagian mencuci bahan masakan dan memotong-motongnya.

"Okeh. Aku bukan ingin menjadikan isteriku pelayan untuk masak dan menyiapkan makananku. Kalau pintar masak itu adalah nilai plus." Ucap Sean. Tapi kalimat terakhir Sean membuat Sachi kecil hati.

Sean menyerumput kopinya sekali. Hanya sekali? Lalu pria itu bangkit. "Aku berangkat." Sachi memandangnya kesal. Ia menggigit bibirnya, menggerutu dalam hati. Tapi Sachi tetap mengantar Sean keluar, begitu juga tiga pelayan tadi berjalan di belakang Sachi.

Sebut saja ketiga pelayan itu Kokom, Mumun, dan Titin. Mereka itu punya sertifikat memasak professional. Dan juga pernah bekerja di hotel.

"Nanti aku pulang cepat biar kita bisa makan malam bareng." Pesan Sean sebelum masuk ke mobil. Sachi tersenyum muram, sepertinya hari ini ia akan sibuk belajar masak.

"Pak Sean tidak mencium istrinya?" Mumun berkomentar memandangi pasangan pengantin baru itu. "Pacarku saja kiss-kiss sebelum kami berpisah."

Spontan Kokom menepuk perut rata Mumun dengan kuat. "Jangan ngegosip. Bojomu saja tidak bermerek seperti Tuan Sean jadi jangan samakan."

"Namanya pengantin baru itu harus pelan-pelan." Timpal Titin. Ketiga pelayan itu serempak membalikkan badan setelah Sean pergi. "Wes, kalian liat kan tadi Tuan Sean nyuruh istrinya buatin kopi... kita yang bersertifikat ini sudah kalah telak, toh."

ISTRI TUAN SEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang