2010, Jakarta
Ini bukan cerita tentang hukum yang membahas undang-undang negara kita. Namun tentang kehidupan dua keluarga yang memiliki status sosial bertolak belakang dan sisi gelap yang belum terungkap.
"Ibu, ini rumah siapa?"
Tanya Joanna kecil pada Liana yang sedang menggandengnya menuju rumah megah penuh lampu terang. Tidak seperti rumah mereka yang hanya memiliki lima lampu berukuran sedang yang diletakkan di dalam kamar, dapur, kamar mandi, ruang tengah dan teras.
"Teman Mama. Pokoknya kamu tidak boleh banyak bicara, jangan berperilaku tidak sopan apalagi sampai merusak barang-barang di sana."
Joanna mengangguk kaku, kemudian mencengkram kuat-kuat tangan ibunya ketika pintu terbuka. Menampilkan wanita paruh baya seusia ibunya yang tampak begitu cantik dengan gaun malam dan rambut disanggul asal.
"Liana? Ya Tuhan! Kamu kenapa? Ayo! Masuk!"
Pekik Ariana, selaku teman SMA Liana. Mereka berteman cukup lama hingga berpisah ketika Ariana melanjutkan kuliah di Amerika. Sedangkan Liana, dia memutuskan bekerja di hotel dekat sekolah lamanya.
Joanna kecil yang masih belum terlalu mengerti apa-apa, kini hanya bisa diam seribu bahasa ketika ibunya berbincang dengan si teman. Sampai ketika anak seusinya datang. Dia tampak begitu cantik dengan gaun indah yang membalut tubuhnya. Tidak seperti Joanna yang hanya memakai pakaian lusuh kebesaran bekas sepupunya di desa.
"Jani, ini teman barumu. Ayo kenalan!"
Joanna langsung mendongak, menatap Jani yang sudah mengulurkan tangan dan tersenyum lebar.
"Joanna."
"Jani, nama kita mirip."
Ariana mengangguk singkat, kemudian mengusap pucuk kepala anaknya super pelan.
"Iya. Mulai hari ini Joanna akan tinggal di sini dan belajar di sekolah Jani."
"Serius, Ma? Yeay! Aku jadi ada teman!"
Joanna yang tidak tahu apa-apa tentu saja langsung menatap ibunya. Mencoba meminta penjelasan yang sayangnya hanya dihadiahi anggukan.
Joanna dan Jani akhirnya berteman baik sejak saat itu. Sejak sama-sama berusia 10 tahun dan masuk kelas 4 sekolah dasar. Keduanya tampak begitu akrab. Apalagi kalau bukan karena Jani yang memang banyak bicara sebab memiliki tahi lalat di dekat bibirnya.
"Anak haram!"
"Anak jalang!"
"Kasihan! Tidak punya ayah!"
Setiap hari Joanna selalu mendapat cacian dan hinaan dari teman-temannya. Entah dari mana mereka tahu kondisi keluarga Joanna yang belum ada satu tahun pindah di sana.
Diatambah---Joanna yang memang bertubuh kecil dari anak-anak seusinya, tentu saja akan menjadi sasaran empuk sebagai target perundungan.
Tendangan, jambakan, bahkan ludahan sudah menjadi makanan sehari-hari Joanna.
Mau mengadu pada guru juga takut. Karena dia tidak ingin membuat ibunya sedih dan menjadi bahan olokan seperti di sekolahnya yang dulu-dulu.
Iya, Joanna sudah diganggu sejak dulu. Bahkan sejak TK dan masih sangat lugu. Bayangkan, anak sekecil itu sudah disakiti secara fisik maupun mental. Jadi, tidak heran kalau Joanna usia 10 tahun sudah menjadi kebal.
Beruntung tidak lama kemudian Jani datang, dia yang memang selalu masuk kelas unggulan tiba-tiba saja mendatangi kelas Joanna ketika jam kosong tiba.