10/20

755 145 113
                                        

Kali ini serius, 50 comments for next chapter.

5 hari kemudian.

Jeffrey semakin dibuat gelisah oleh Joanna. Setiap hari, dia bahkan tidak bisa makan dan tidur dengan tenang. Dia takut diputuskan karena insiden sebelumnya, lebih takut lagi jika Liana benar-benar ingin menjauhkan anaknya dengan dirinya.

"Jeffrey, sudah makan? Mama dan Papa mau berangkat sekarang. Kamu yang sabar, ya? Satu minggu lagi, setelah Papa dilantik, Papa bantu bereskan."

Jeffrey mengangguk singkat, dia baru saja sarapan dengan nasi goreng seafood porsi setengah. Karena dia benar-benar tidak nafsu makan dan hanya makan agar tidak mati saja.

Ting...

Tidak lama kemudian ada notifikasi masuk datang. Ternyata dari saldo rekening miliknya yang bertambah sekitar 35 juta dari Joanna.

Secepat kilat Jeffrey langsung mendial nomor Joanna. Namun sayang, lagi-lagi tidak aktif seperti sebelum-sebelumnya.

Kedua mata Jeffrey sudah berkaca, dia takut sungguhan. Takut Joanna benar-benar akan dijauhkan dengannya. Bukannya cengeng atau apa. Namanya juga saling cinta, kalau dipisahkan secara paksa---tentu saja akan sama-sama membuat masing-masing pihak terluka.

Sedetik kemudian, ada nomor baru yang melakukan panggilan video padanya. Karena masih mengira itu Joanna, Jeffrey langsung mengangkatnya tanpa pikir ulang.

Benar saja, itu Joanna. Dia sedang berada di kamar mandi kamar dan menahan tangis seperti dirinya.

Jeffrey! Bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik saja, kan? Makan enak? Tidur nyeyak? Uangku sudah masuk, kan? Biaya reparasi mobil temanmu habis berapa? Kalau masih kurang, nanti aku tambahi---

"Joanna---aku kangen. Kamu di mana saja? Kenapa nomormu tidak aktif? Kenapa berhenti kerja tiba-tiba? Kamu tidak sakit, kan?"

Aku juga kangen. Aku baik-baik saja, Jeffrey---pertanyaanku belum kamu jawab. Bagaimana soal mobil temanmu? Kamu tidak dituntut, kan?

"Tidak perlu khawatirkan soal itu. Ayo bertemu! Kamu di mana sekarang? Kode apartemenmu ganti, kamu tinggal di mana saat ini?"

Joanna diam cukup lama, mulai berpikir keras agar Jeffrey tidak semakin khawatir padanya.

Aku di apartemen. Dengan Ibu dan Jani. Kamu tidak perlu khawatir. Maafkan aku, ya? Karena telah membuatmu dalam masalah seperti kemarin, maaf juga karena kamu harus mendapat tamparan Ibuku di kantor polisi.

"Tidak perlu meminta maaf! Ini bukan kesalahanmu. Joanna, kamu benar-benar baik-baik saja, kan? Suaramu serak, kamu tidak sakit, kan? Mau kukirimkan obat? Ini nomornya siapa? Nanti aku beri kabar kalau aku sudah sampai sana."

Tidak perlu, Jeff. Hanya flu biasa, nanti juga sembuh. Ini nomor Jani. Jangan disimpan, dia suka jahil. Aku baik-baik saja, kamu tidak perlu datang kemari. Kita bertemu lagi kalau suasana hati Ibuku sudah membaik. Atau, kalau aku tidak bisa menghubungimu lagi---temui aku di taman dekat apartemenku lima hari lagi. Jam 12 malam tepat. Aku janji akan benar-benar datang nanti.

Jeffrey tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Apalagi ketika terdengar suara pintu kamar mandi Joanna yang sudah digedor brutal. Kemudian tiba-tiba saja panggilan video dimatikan tanpa berpamitan.

"Lama sekali, sih!? Katanya hanya lima menit!? Mau kabur, kamu?!"

Joanna langsung membuka pintu kamar mandi, kemudian memberikan ponsel Jani setelah menghapus nomor Jeffrey.

"Kepo! Mana makananku!?"

"Cari saja sendiri!"

Joanna langsung mendengus kecil, kemudian memakan sarapannya yang sudah tersaji di meja kecil di dalam kamarnya sendiri. Karena selama lima hari ini, dia dikurung di sini selama Liana kerja dan Jani libur kerja untuk beberapa hari.

5 hari kemudian.

Hari anniversary yang pertama Jeffrey dan Joanna akan jatuh pada nanti malam. Joanna tidak sabar, begitu juga dengan Jeffrey yang semakin gelisah. Takut kalau Joanna tidak bisa datang nanti malam.

Dari pagi hingga siang, Jeffrey tidak kunjung bisa fokus kerja. Apalagi setelah sore tiba. Jeffrey bahkan bergegas pulang, mandi dan menyiapkan berbagai barang yang akan dimasukkan pada mobil yang dipakai nanti malam. Dari kue, mawar merah dan hadiah untuk Joanna. Semuanya sudah siap pada jam empat tepat. Padahal, Joanna janji akan datang pada jam 12 tengah malam.

"Mau berangkat sekarang, Jeff?"

Tanya Sandi yang baru saja pulang. Lalu menatap anaknya yang sudah rapi dan berjalan keluar rumah menuju pajero hitam yang sudah lama tidak dikeluarkan dari kandang.

"Iya, Pa."

"Hati-hati, jangan lupa katakan apa yang harus kamu katakan nanti. Karena lusa kita sudah sepakat untuk mengenalkanmu pada publik setelah Papa dilantik nanti."

Jeffrey mengangguk cepat, mengiyakan perkataan Sandi. Meskipun dia sedikit khawatir, takut kalau Joanna tidak datang dan membuatnya semakin kecewa nanti.

1. 50 AM

Hujan turun sangat deras dan Jeffrey sudah menunggu tiga jam di salah satu gazebo taman. Menunggu Joanna yang sudah janji akan datang pada jam 12 malam sebelumnya.

Jeffrey semakin gelisah, takut bahwa hubungannya dengan Joanna akan kandas. Karena sudah pasti Joanna akan marah jika dia tahu bahwa dirinya sebenarnya bukan yatim piatu seperti apa yang telah dikatakan sebelumnya. Ditambah, ayahnya akan segera menjadi orang nomor satu di negara mereka. Jeffrey takut, takut Joanna merasa dipermainkan dan berbalik arah membencinya.

Hingga satu jam kemudian, pada jam tiga pagi, Joanna tiba-tiba saja datang dengan nafas tersendat. Tubuhnya sudah basah karena hujan tidak kunjung berhenti dari beberapa jam sebelumnya.

Jeffrey yang awalnya menahan kantuk, kini langsung berdiri sekarang. Ikut berlari di tengah hujan dan memeluk Joanna yang masih memakai baju tidur erat-erat.

"Aku kira kamu tidak akan datang."

"Maaf, aku ketiduran."

"Tidak apa-apa, yang terpenting kamu datang."

Jeffrey langsung membawa Joanna ke dalam mobilnya, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut tebal yang memang sengaja sudah dibawa dari rumah.

Setelah memastikan Joanna tidak lagi kedinginan, Jeffrey langsung membawa Joanna menuju apartemennya. Apartemen yang tidak jauh dari apartemen Joanna. Apartemen yang dikatakan pada Joanna adalah milik salah satu temannya yang terbengkalai dan hanya ditimpati jika si pemilik sedang ingin healing saja.

Joanna yang memang sedang kedinginan tentu saja tidak banyak berkomentar. Apalagi sampai menolak dan banyak melayangkan pertanyaan. Membuat Jeffrey hampir lupa akan tujuan awalnya untuk memberi tahu tentang siapa dirinya yang sebenarnya.

Next chapter will be mature scene, ready?

Tbc...

JUSTICE IN LAW [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang