3/20

918 153 92
                                        

Mau visualisasi cast?

Joanna baru saja selesai tidur siang. Kemudian bergegas bersiap dengan memakai jeans biru muda dan kaos waran putih tulang. Senada dengan cardigan yang dipakai sebagai luaran. Rambut panjangnya juga sudah dikuncir rendah agar tidak susah ketika memakai helm nantinya.

Sebelum keluar kamar, Joanna mencari keberadaan Jani yang entah sedang kemana. Apalagi kalau bukan untuk meminta penjelasan karena dia telah mengadu pada ibunya tentang pacarnya yang bukan berasal dari keluarga kaya seperti harapan ibunya.

"Jani, kenapa kamu mengatakan pada Ibuku soal pacarku?"

Tanya Joanna pada Jani yang sedang memainkan ponsel di atas sofa ruang keluarga apartemennya.

"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Pacarmu itu, kurasa dia kurang baik karena tidak sesuai dengan harapan Ibumu. Kenapa tidak dengan Mega saja? Kalian juga sudah mengenal cukup lama karena dia sepupuku. Dan lagi, kita bisa menjadi saudara, Jo!"

"Tanpa aku menikah dengan Mega, kamu juga sudah kuanggap sebagai saudara! Untuk kebaikanku, hanya aku yang bisa menentukan. Bahkan Ibuku, karena dia juga tidak akan tahu apa yang benar-benar menjadi yang terbaik untukku. Cukup sekali ini, Jan. Lain kali jika kamu melakukan ini, aku akan sangat marah padamu!"

Joanna langsung melenggang pergi, meninggalkan Jani yang tampak tidak peduli sembari membaca berita dari CNN hari ini.

3. 40 PM

Di lobby apartemen, Joanna langsung bertemu Jeffrey. Kemudian sama-sama menuju motor matic Jeffrey yang masih terparkir. Motor hitam usangnya sudah dicuci bersih. Helm ber-SNI yang diberikan Jeffrey juga sangat wangi ketika dipakai Joanna hari ini. Sangat penuh persiapan sekali Jeffrey ini. Ucap Joanna dalam hati.

"Untung sedikit mendung, jadi tidak terlalu panas. Pegangan, ya? Aku mau sedikit ngebut. Supaya tidak kehujanan di jalan."

Joanna hanya tersenyum singkat, lalu merealisasikan ucapan si pacar.

Padahal, itu hanya akal-akalan Jeffrey saja. Karena langit masih terang benderang. Jangankan mendung dan hujan. Matahari saja masih cukup terik dan membuat Joanna sedikit menyipitkan mata ketika mendongak.

Setengah jam perjalanan terasa begitu singkat. Karena mereka sama-sama bahagia meskipun sering beberapa kali terjebak di lampu merah.

"Rambutku bagaimana? Masih bagus, kan?"

Jeffrey mengangguk singkat, kemudian mengusap rambut Joanna pelan guna merapikan sisi kanan rambut pacarnya yang agak berantakan.

"Maaf, ya? Bagaimana kalau lain kali aku pinjam mobil temanku saja? Supaya rambutmu tidak berantakan."

Joanna menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan kanan Jeffrey erat-erat.

"Jangan! Aku tidak ingin merepotkan orang. Aku suka naik motor, asal denganmu. Karena kita bisa sama-sama menghirup udara segar---"

"Itu bukan udara segar. Tapi polusi! Sudah, ayo masuk!"

Jeffrey langsung melepas genggaman Joanna, kemudian merangkul pundaknya dan sama-sama jalan pelan memasuki mall.

Tidak lama kemudian Jeffrey dan Joanna memasuki bioskop. Seperti kebanyakan para lelaki di luar sana, Jeffrey memiliki otak kotor juga. Buktinya, dia sengaja memilih tempat duduk di paling atas dan pojokan. Apalagi kalau bukan untuk melakukan aksi nakal seperti para pasangan pemilik gairah muda kebanyakan.

"Kamu sengaja, ya?"

"Sengaja apa?"

"Duduk di sini, supaya bisa macam-macam! Ada CCTV! Kamu tidak lihat?"

JUSTICE IN LAW [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang