Chapter - 10. Invisible Pain

547 61 13
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------

Tamparan kembali melayang ke pipi Zeus. Bree berteriak kencang, menendang-nendang agar Zeus benar-benar menjauh. Ia melotot sembari mundur agar Zeus tidak bisa menjangkaunya. Takut Zeus akan mendekat lagi, ia menjauhi ranjang dan berdiri, mengambil ancang-ancang untuk keluar kamar. Lagi-lagi ia takut Zeus memperlakukannya tidak baik di kamar ini, karena siapa pun tidak akan bisa menolong.

"Kau takut?"

"Aku tidak takut! Kau bisa melakukan apa saja sesukamu dengan paksaan dan aku tidak suka! Beberapa kali aku menolak, kau akan tetap melakukannya! Semakin hari kau semakin menjijikkan!" teriak Bree, terlalu kalap karena sejujurnya ia gemetar. Perutnya pula mendadak mual karena setelah makan harus diluapkan melalui emosi.

Zeus mengepalkan tangan. Ia menipiskan bibir, membenci kata-kata itu. Ia berusaha membuat Bree mengingatnya, namun Bree memang tak mau berusaha untuk mengambil kembali kenangan itu. Kenangan yang telah terhapus dari alam bawah sadar.

"Aku menjijikan?" Zeus membuang tatapan ke arah lain. "Aku menjijikan, hm?"

Bree terdiam. Entah mengapa, keberaniannya meluap.

"Aku bersikap menjijikan karena aku ingin hubungan kita baik-baik saja. Aku rela terlihat menjijikan karena aku mencintaimu!" Zeus menatap lekat Bree yang berdiri di dekat pintu lemari. Ia meneguk ludah dan beberapa detik kemudian berdecih, "Aku memang menjijikan dan karena wajah ini, kadar jijikmu padaku semakin bertambah."

"Aku akan selalu menjijikan di matamu dan kau tidak akan bisa melihat ketulusan yang kuberikan."

Bree mengepalkan tangan saat Zeus melewatinya dan pergi meninggalkannya sendiri di kamar. Sesak ini kembali datang. Ia tidak mengerti kenapa semua ini kembali menyedihkan. Ia tidak mengerti kenapa ia merasa bersalah yang teramat besar. Ia tidak bisa menebak apa yang ia inginkan. Saat Zeus marah, ia merasa ingin membujuknya, namun ia tidak bisa. Banyak hal yang benar-benar menjadi misteri karena ia tidak bisa melupakan fakta bahwa Zeus adalah pria asing yang menculiknya.

Sebulir air mata merembes ke pipi. Ia tidak tahu mengapa ia harus menangis. Ia tidak tahu mengapa ia harus merasakan sakit ini. Ia tidak tahu kenapa ia harus mempercayai kata-kata Zeus. Seandainya Zeus mengatakan yang sebenarnya, semua ini akan mudah. Mungkin ia akan mengerti jika Zeus mengatakan wajahnya mirip dengan mendiang istrinya. Namun, tidak. Zeus tetap menjaga erat rahasia itu hingga ia selalu beranggapan buruk dan membangun benteng besar dari hari ke hari.

Ia mengusap pipinya menggunakan punggung tangan kemudian beranjak untuk menutup pintu. Ia terduduk di balik pintu sembari menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Menangis terisak karena sakit yang tidak tahu penyebabnya, sekaligus kembali meratapi nasib yang semakin memburuk.

***

Zeus menutup pintu, kemudian terduduk di baliknya. Kakinya ia selonjorkan dan kepalanya ia dongakkan, menahan agar air matanya tak tumpah. Semakin lama ia tak kuat untuk bersikap baik-baik saja. Bree semakin membencinya dan kebencian Bree membunuhnya. Ia ingin mengatakan semuanya, namun tidak akan pernah mudah karena nyawa Bree menjadi taruhan.

Semakin ia menahan, semakin kesakitan di dada bertambah. Alhasil, air mata yang tak ia biarkan terjatuh, kini merembes deras. Tangannya terkepal, menahan gejolak ingin memukul sesuatu. Ia tahu, semakin ia bertindak, semakin ia terluka.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan melupakanmu meskipun aku harus. Setiap inci rupamu, akan kuingat dan kusimpan."

"Nyatanya, kau melupakanku, Bree."

"Meskipun dunia menentang kita, tetap saja kau dan aku akan menjadi satu, selamanya."

"Nyatanya, kau membenciku dan kita akan menjadi lebur."

Tangisannya semakin deras. Ia tidak tahu bahwa ini akan sesulit dari perkiraan. Ia tidak tahu bahwa kenangan itu tidak sama dengan kenyataan. Seandainya ia tahu, ia tidak akan bertindak nekat seperti sekarang yang semakin memperlebar jarak dan melukai perasaan.

Matanya terpejam sejenak, meminimalisir sakit yang tak terlihat ini semakin menghantam. Ia tahu ke depannya tidak akan pernah bisa mendapatkan hati Bree selain membebaskannya.

***

Bree terbangun di malam hari setelah tidur beberapa jam yang lalu. Kepalanya mendadak pening setelah menangis begitu banyak dari siang dan akhirnya memilih berbaring. Tanpa sadar, tidurnya sudah begitu lama hingga pukul delapan malam. Ia terduduk sejenak, menghela napas, lalu berdiri untuk membasuh wajah.

"Shit!" Ia mengumpat kecil tatkala kepalanya berdenyut. Sudah ia pastikan matanya pun membengkak. Untuk keluar kamar, rasanya ia malu. Tapi jika tidak keluar, perutnya harus tersiksa sepanjang malam.

Ia menatap pantulan wajahnya di cermin, kemudian menggeleng. Untuk apa ia menangis? Seharusnya ia tertawa karena Zeus sakit hati dengan kata-katanya. Untuk apa ia menjadi lemah dan menyiksa diri sendiri? Seharusnya ia lebih kuat dan cerdik, kan?

Ia menghidupkan keran kemudian membasuh muka. Ia berjanji ini adalah terakhir kalinya ia menangis seperti ini. Ia tidak mau dianggap lemah. Ia tidak mau harus tersiksa. Kenapa ia tidak memanfaatkan kesempatan menjadikan Zeus budaknya jika Zeus memang mencintainya? Ia tersenyum sinis. Lebih baik ia menghilangkan semua kesedihan, kekhawatiran, ketakutan yang tak perlu karena ia tahu, Zeus tidak akan melukainya. Itu sudah pasti.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Ugly Kidnapper ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang