Chapter - 18. Finally, She Knows

516 43 14
                                    

Berterima kasihlah, karena double update 🤣

HAPPY READING 📖

------------------------------------------

"Lewis?" Bibir Bree bergetar. Melihat sosok berperawakan tinggi, dengan janggut kecokelatan dan tipis menghiasi rahang, serta kemeja putih yang berlapis jas dan celana kain hitam, berdiri tak jauh darinya. Ia mendadak ingin lari. Ia tak mengerti kenapa melihat Lewis menimbulkan ketidaksukaan. Ia tak mengerti kenapa ia ingin menyalahkan Lewis atas apa yang terjadi pada Zeus. Ia yakin Lewis melakukannya, dan ia tahu ini sudah direncanakan.

"Ayo pulang, Bree." Setiap Lewis mendekat, ia ingin menjauh. Setiap langkah yang Lewis berikan, menimbulkan pemberontakan. Ia tidak mau ikut. Namun, kakinya tetap terpaku sepeti yang telah berlalu. Pergelangan tangan yang digenggam lembut oleh Lewis tak memberikan sensasi apa-apa. Ia tak mengerti kenapa semua bisa berubah secepat ini. Ia merasa asing. Bahkan menatap Lewis ia tak mampu.

Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ia mengikuti Lewis membawanya meskipun tubuhnya setengah kaku. Ia membiarkan Lewis merangkulnya sampai ke mobil. Semua keterkejutan ini belum bisa menyadarkannya. Kedatangan polisi, kepergian Zeus, dan tiba-tiba kedatangan Lewis.

Ia duduk setelah Lewis membukakannya pintu. Ada perasaan berat hati saat meninggalkan kediaman yang telah berbulan-bulan ia tempati. Ada keanehan yang ia rasakan setelah duduk berduaan dengan Lewis. Ia kembali merasa asing untuk pulang. Ia menyadari, mereka bukan tempat yang ia inginkan. Ia menginginkan tempat ini. Ia sudah terlalu nyaman dengan kesederhanaan yang mereka jalani. Ia tidak menginginkan lagi kehidupan yang membosankan. Ia menginginkan kehidupan ini.

Setetes air mata jatuh ke punggung tangan. Lewis yang sedari tadi memperhatikan sembari mengemudi, menggenggam lembut jemari Bree.

"Tenanglah. Kau tidak akan lagi bertemu dengannya."

Bree cepat-cepat menoleh. Ia meneliti kembali rupa Lewis, memastikan sesuatu yang mendadak ksong. Benar saja, menatap Lewis, ia tak lagi merasakan apa-apa. Semua yang menggebu-gebu ingin kembali, telah menghilang. Ia tidak lagi menginginkan Lewis. Ia ingin kehidupan sekarang dan tak mau lagi kembali.

"Kau yang melaporkannya ke polisi?" Ini adalah kalimat pertama sejak ia membungkam mulutnya, membiarkan otaknya mencerna dengan baik sebelum menanyakan tuduhan itu.

Lewis membawa tangan Bree ke depan bibirnya, kemudian mengecupnya singkat. Kecupan itu pun tak lagi membawa arti apa-apa untuk Bree. Saat Zeus menciumnya, ia merasa desiran. Namun, saat Lewis menciumnya, ia merasa desiran ini mengerikan. Ia tidak merasakan gelora yang menggebu-gebu. Ia tidak merasakan cinta itu terus hadir untuk Lewis. Semua sudah mati rasa untuk Lewis.

"Tentu. Sejak kau tak pulang, aku langsung melaporkannya ke polisi sambil melakukan penyelidikan. Akhirnya, kami menemukanmu. Kau tak merindukanku?"

Bree tak menjawab. Kini air matanya merembes. Ia tak mengerti kenapa ia menangis sehisteris ini. Ia tidak mengerti kenapa mendengar itu ia ingin memaki Lewis.

"Hei, kenapa? Kau terlalu merindukanku, ya?" Lewis menggenggam erat tangan Bree, membiarkan Bree menangis meskipun ia tahu karena alasan apa.

Bree tetap menangis dan tangisan itu semakin keras. Ia hanya ingin menangis, meluapkan sesak yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Semua ini tak ia pahami. Ia mengakui, ia tak terima Zeus di penjara. Dan ia yakin, Zeus menyalahkannya.

***

Memasuki kamar yang kini terasa asing, ia kembali meluruhkan air mata. Ini benar-benar asing. Bersama Lewis sudah asing, bahkan ia merasa tidak ingin bertemu keluarganya. Naas, kini Lewis memasuki kamar dan tepat di belakangnya. Menyadari kehadiran Lewis, ia berbalik kemudian memaki keras.

"Kenapa kau memenjarakannya dengan tuduhan palsu?!" Wajahnya memerah dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dan hendak memukul. Kini perasaan asing dan tak enak itu menghilang. Yang ia rasakan hanyalah asing, asing, dan asing Ia tidak mau kembali ke sini. Ia membenci kehidupan mengerikannya. Ia membenci semua yang ada di sini dan ingin kembali ke rumah terkutuk yang malah memberinya kenyamanan.

"Kenapa kau membentakku?" Lewis mengerutkan kening. Raut tak suka terpapar. Bahkan tangannya terkepal erat.

"Kenapa kau memenjarakannya, Lewis?! Kau memberikan tuduhan palsu!" pekik Bree hingga urat di sekitar lehernya menonjol. Ini emosi yang belum seberapa. Rasanya ia ingin menonjok wajah tampan yang kini sangat muak untuk dilihat.

"Kenapa kau semarah ini? Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan, kan? Dia menculikmu. Kau pikir aku akan diam?" Masih dengan suara tenang, Lewis membalas, sekaligus tatapannya terarah lekat pada Bree.

Bree berbalik, meremas dadanya yang menjadi teramat sakit. Ia tdak bisa mengatakan jika ia khawatir. Ia amat kecewa, dan kekecewaan terbesarnya selalu ada pada Lewis. Pria ini berpura-pura memedulikannya, padahal tidak.

"Kenapa kau mencariku? Seharusnya kau membiarkanku pergi. Aku muak dengan semua ini. Aku muak karena kau sengaja melakukannya dan dengan liciknya, kau memalsukan tuduhan itu." Bree kembali menghadap Lewis. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis tatkala tahu Lewis tak berkutik. "Kau pikir aku tak tahu kau yang menyuruhnya untuk menculikku? Kau pikir aku sedungu yang kau pikir?" Untuk pertama kalinya, Bree berbicara sekasar ini pada Lewis. Biasanya ia akan menurut dan berpura-pura baik. Sekarang tidak lagi. Kebersamaannya dengan Zeus, mengajarnya berbicara lebih kasar untuk menyakiti perasaan yang seharusnya tak dipedulikan.

"Apa maksudmu, Bree?! Kau menuduhku?!" Lewis kehilangan kesabaran, suaranya naik seoktaf dengan kaki yang refleks mendekat.

"Apa?! Kau mau menyangkalnya, hah?! Aku tahu kau menyuruh penculik bayaran untuk menculikku agar kau bisa seperti pahlawan menemukanku dan mendapatkan warisan kilang anggur itu. Sudah cukup aku berpura-pura bodoh dan menurutimu, Sialan!" Lengannya terasa diremas. Ia menatap permusuhan dan sorot kebencian. Di hati ini tidak lagi memunculkan sedikitpun cinta untuk Lewis. Kebencian semakin meluap menatap mata yang dulu sempat ia idamkan untuk memujanya.

Bertatapan cukup lama, Lewis menyeringai. Ia memberikan jarak kemudian bersedekap dada. "Ya, aku memang menyuruh penculik bayaran untuk melenyapkan nyawamu. Tapi mana kutahu kalau suami sialanmu yang malah menculikmu."

Bibir Bree terbuka. Petir seakan menyambarnya dari jarak jauh. Darah seolah berhenti mengalir dan ia lupa cara untuk bergerak. Ia bisa merasakan napasnya terhambat di dada. Bahkan tenggorokannya terasa diikat erat oleh rantai.

Melihat Bree terdiam tak berkutik, suara tawa mengalun dari mulutnya. "Oh, dia belum bilang? Pantas kau membiarkannya pergi."

Tak ia pedulikan suara yang mengejeknya bak tak memiliki moral. Pikirannya hanya terpaku pada pengakuan yang membuatnya harus mengulang adegan per adegan. Ia tak mengira Zeus memberikan kata-kata yang tak ia mengerti untuk dicerna, dan sialnya dibeberkan oleh Lewis. Matanya mendadak berkunang-kunang, namun ia berusaha menahan saat kalimat per kalimat telah terlontar.

"Kau membencinya, tapi dia berusaha menyelamatkanmu, hm? Ironis." Lewis terkekeh sinis sebelum melanjutkan. "Karena sudah kepalang tanggung, seharusnya aku meminta kepolisian untuk membunuhnya di sana, kan? Akan kubuat kasus palsu kematiannya. Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku?" Ia melangkah, kepalanya mendekat, membisiki Bree dengan kata-kata menusuk. "Tidak akan bisa." Kemudian mengecup cuping telinganya.

Kepalanya menjauh kemudian tertawa sinis lagi melihat Bree terdiam. Wanita ini pasti hendak menggali memori, atau memikirkan cara untuk membunuhnya karena menggores harga diri. Namun, tidak akan bisa. Waktu sudah bermain untuk membongkar kedok dan membunuh setidaknya satu di antaranya. Lagi pula, bagaimana ia bisa mendapatkan warisan kilang anggur jika masih banyak bedebah yang menghalangi jalan?

Tatapannya meremehkan. Ia berbalik kemudian melangkah. Berada di ambang pintu, ia berkata, "Galilah memorimu sampai kematian menjemputmu. Pergilah kalau kau ingin bertemu dengan penculik jelek itu."

Setelah itu, ia benar-benar meninggalkan Bree seorang diri di kamar. Ia mendengkus pelan, sudah ia pastikan rencana yang telah disusun, benar-benar matang hingga ia mendapatkan semuanya. Semuanya tanpa terkecuali.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Ugly Kidnapper ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang